Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Strategi Menulis Cerita Pendek: Catatan untuk Kelas Sastra

17 Desember 2022   05:38 Diperbarui: 17 Desember 2022   05:44 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS


Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta memberi kesempatan kepada saya dan  Ons  Untoro, Ikun Sri Kuncoro, Nanik  Indarti, serta Tedi Kusyairi memberikan materi di Kelas Sastra: Temu Maestro, terbagi dalam Klinik Cipta Puisi, Klinik  Cipta Cerita Pendek, dan Klinik Cipta Naskah Panggung. Pertemuan tersebut diikuti kurang lebih 150 peserta generasi muda kreatif (termasuk siswa dan guru), pada tanggal 16-17 Desember 2022, di Rumah Budaya Tembi. Berikut ini catatan lepas  saya  untuk Kelas Sastra Cipta Cerita Pendek. Beberapa catatan (bisa jadi) pernah saya tulis untuk Kompasiana.


Puluhan  tahun lalu, S. Tasrif mengutip tulisan Richard Summers (dosen teknik mengarang cerita pendek di University of Arizona, Amerika Serikat) dalam buku Craft of The Short Story: tidak  seorang pun dapat mengajar seorang pengarang pemula bagaimana ia harus menulis. Ia bisa mendapat bimbingan, ia boleh ditolong dengan kritik-kritik dan anjuran-anjuran, atau karangannya boleh diperbaiki di bawah bimbingan seseorang, ditunjukkan beberapa hal mengenai teknik mengarang, akan tetapi pada akhirnya  ia mesti mengajari dirinya sendiri  dengan melakukan percobaan  dan kegagalan, dengan jalan menulis dan menulis, dengan jalan memanfaatkan dengan sungguh-sungguh segala kesempatan  untuk mencurahkan pikirannya sendiri dan sedikit demi sedikit  mengatasi segala kesalahannya sehingga akhirnya  memiliki gaya penulisannya sendiri.


Jika  ingin menjadi penulis  yang sesungguhnya, maka seseorang harus mempunyai  motivasi  kuat untuk terus berlatih menulis, bukan sekadar ikut-ikutan (epigonisme), ingin segera terkenal, berharap mendapat imbal balik honorarium. Kalau tujuan itu yang menjadi pilihan, bersiaplah mengalami kegagalan karena yang dipikirkan bukanlah menjadi penulis, melainkan ingin tersohor sekaligus mendapatkan uang.


Cerita pendek mengandung detail-detail dan insiden-insiden yang dipilih dengan sengaja dan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dalam pikiran pembaca. Insiden akan memunculkan aksi dan berbagai konflik, sampai cerita  mencapai puncak dan penyelesaian.


Cerita pendek dituntut menimbulkan perasaan pada pembaca. Pembaca  terbawa oleh jalan cerita, seakan-akan terlibat ke dalam peristiwa. Untuk menciptakan situasi ini, maka cerita harus hidup, memiliki immediacy dan atmosphere.

Cerita pendek pertama-tama menarik perasaan, baru kemudian menarik pikiran pembaca.


Cerita pendek memuat intepretasi pengarang mengenai pandangannya tentang kehidupan. Kehadirannya  berangkat dari insiden pemicu, diikuti aksi menaik, klimaks, aksi menurun, dan penyelesaian cerita. Keberhasilan cerita pendek ditentukan oleh kemampuan pengarang dalam memerikan alternatif kehidupan dan penyelesaian persoalan kehidupan. Di samping itu, penulis mampu memberikan ruang terbuka untuk pengembangan imajinasi pembaca. Artinya penulis tidak perlu memberikan semua informasi ke dalam cerpennya, menyebabkan pembaca tidak memiliki kemungkinan lain untuk menafsirkan cerpen tersebut. Bukankah fiksi yang baik kehadirannya selalu melahirkan penafsiran  berbeda-beda?


Seorang cerpenis adalah seniman, pertama-tama harus mampu menguasai unsur-unsur kebahasaan yang kemudian dimanfaatkan untuk menyampaikan ide berupa insiden, konflik, dan aksi para tokoh dalam jalinan alur cerita. Kenyataan tersebut menuntut cerpenis memanfaatkan unsur kebahasaan sesuai  KBBI dan EYD dalam menyampaikan ide-ide agar dapat dipahami dengan mudah oleh pembaca.


Dalam menulis cerpen diperlukan tokoh, latar, dan plot atau alur. Semuanya dipilih dan dihadirkan dengan keunikan masing-masing sehingga cerita akan tampil menarik. Dari sisi penokohan, tokoh protagonis sebaiknya dihadirkan dengan perwatakan yang berlawanan (oposisional) dengan tokoh antagonis sehingga konflik antarmereka menjadi benar-benar menarik dari awal hingga akhir cerita. 

Alur ceritanya mungkin dibumbui unsur backtracking dengan jalan cerita  tidak bertele-tele. Latarnya bisa saja menampilkan latar tempat dan latar waktu yang konkret maupun abstrak, bisa juga menampilkan latar sosial budaya yang memungkinkan penulis mengedepankan unsur-unsur lokalitas, menghadirkan warna lokal atau kearifan lokal dalam cerita.


Sebagai sebuah cerpen, unsur-unsur tersebut ditampilkan dengan keterbatasan-keterbatasan tertentu karena cerpen hanya merupakan gambaran hidup sesaat, sebuah fragmen kehidupan tokoh cerita dalam kesatuan waktu terbatas, sehingga tidak mungkin bercerita mengenai seorang tokoh dari lahir hingga berusia senja. Konflik pun harus dipilih yang dirasa paling "menggigit", tidak semua konflik bisa dijejalkan.


Cerita pendek bukanlah catatan harian, meskipun bahannya bisa diambil dari dari sana. Konflik dalam cerita pendek tidak hanya terjadi di dalam pemikiran tokoh, tapi juga dalam dialog, kesatuan latar, terjadi dalam hubungan relasional antartokoh. Jangan pernah memenjarakan tokoh dalam pikirannya sendiri, bebaskan ia bermain di tempat (latar cerita) yang sudah kita siapkan, beri kebebasan berhubungan dengan tokoh lain untuk menciptakan insiden dan konflik dalam tanjakan alur yang memiliki hubungan kausalitas (sebab-akibat).

*Herry Mardianto

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun