Platform digital seperti GoFood telah mengubah wajah ekonomi Indonesia. Kita semua merasakan kemudahannya: hanya dengan satu ketukan jari, seporsi kuliner favorit langsung hadir di meja kita. Jutaan transaksi harian terjadi, menghubungkan kita dengan ribuan UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) kuliner yang menjadi tulang punggung ekonomi.
Namun, di balik kemudahan dan janji pertumbuhan itu, muncul pertanyaan yang sangat mengusik tentang keadilan dan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) para pelaku usaha kecil.
Pertanyaan krusialnya: Benarkah ada 'dua kali potongan' dalam satu transaksi di GoFood, dan bagaimana hal ini diam-diam mengancam aset tak berwujud---seperti merek dagang, resep, dan kreasi unik---milik UMKM?
Komisi Ganda: Bukan Sekadar Angka, Tapi Soal Monetisasi Aset
Secara kasat mata, satu transaksi di platform seperti GoFood menghasilkan dua jenis biaya yang ujung-ujungnya masuk ke kantong platform:
Potongan dari Merchant: Berupa komisi penjualan (seringkali mencapai 20% atau lebih) yang dipungut dari total nilai makanan.
Potongan dari Konsumen/Pengemudi: Berupa biaya layanan, ongkos kirim, dan biaya tambahan lain yang juga menjadi pendapatan platform.
Secara ekonomi, ini adalah praktik monetisasi ganda dari satu aktivitas konsumsi. Platform mendapatkan untung dari kedua belah pihak yang diperantarai.
Namun, inti persoalan ini lebih dalam dari sekadar persentase komisi. Ini menyangkut bagaimana platform, yang beroperasi sebagai 'orkestrator' ekosistem digital, mengkapitalisasi aset paling berharga milik UMKM.
Ketika Merek dan Resep Unik Cuma Jadi "Listing"