Era global saat ini, yang ditandai dengan dominasi teknologi informasi, telah mengubah cara kita berkomunikasi secara fundamental. Alvin Toffler menyebutnya sebagai Gelombang Ketiga, sebuah fase di mana internet dan media sosial menjadi pilar utama komunikasi publik. Jika dulu pesan disampaikan melalui lisan atau media cetak dan elektronik, kini setiap informasi dapat menyebar dan dikomentari jutaan orang dalam hitungan detik.
Namun, pesatnya perkembangan teknologi ini membawa tantangan baru, terutama bagi para tokoh publik, pejabat, dan pemimpin. Salah satu fenomena yang paling mengkhawatirkan adalah flexing gaya hidup di media sosial. Ketika figur publik memamerkan kemewahan, hal ini dapat memicu jurang sosial, kecemburuan massal, dan bahkan krisis kepercayaan publik.
Mempertaruhkan Reputasi dan Kepercayaan
Dalam teori komunikasi, keberhasilan sebuah pesan ditentukan oleh tiga elemen: ethos (integritas), pathos (emosi), dan logos (rasionalitas). Tindakan pamer kemewahan atau flexing ini secara langsung merusak ethos karena mengikis integritas dan keteladanan yang seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin.
Alih-alih membangun kepercayaan, pamer gaya hidup mewah justru menciptakan pathos yang negatif, yaitu perasaan iri dan ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Padahal, aset paling berharga yang dimiliki oleh sebuah negara, institusi, atau tokoh publik bukanlah materi, melainkan aset tak berwujud (intangible assets) seperti reputasi, kepercayaan, dan kredibilitas. Aset-aset ini yang menentukan stabilitas sosial dan legitimasi. Satu unggahan yang dianggap tidak sensitif bisa meruntuhkan reputasi yang dibangun bertahun-tahun.
Flexing yang Kontraproduktif
Pada dasarnya, komunikasi publik seharusnya bertujuan untuk membangun transparansi, akuntabilitas, dan nilai moral yang sejalan dengan kepentingan bangsa. Namun, flexing gaya hidup mewah justru mengalihkan fokus dari substansi kerja dan dedikasi seorang pejabat.
Ironisnya, di tengah kondisi masyarakat yang mungkin masih berjuang, pesan kemewahan ini sangatlah kontraproduktif. Pamer kekayaan bukan hanya tidak relevan, tetapi juga sangat merusak citra dan kepercayaan publik. Komunikasi yang sehat seharusnya memperkuat solidaritas sosial, bukan justru memperuncing kesenjangan antara elite dan rakyat.
Pancasila sebagai Pedoman Moral
Di Indonesia, setiap komunikasi publik seharusnya berlandaskan pada nilai-nilai luhur Pancasila.
Ketuhanan Yang Maha Esa: Mengajarkan pentingnya kesederhanaan dan keteladanan moral.
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab: Mengingatkan para pemimpin untuk peka dan menghormati perasaan rakyat.