Tiba-tiba saja kepala penulis rasanya mau meledak, ketika mendengar suara gonggongan anjing kecil kami yang terus menerus menyalak tidak ada jedanya. Rupanya di atas jok sepeda motor penulis yang sedang terparkir di halaman, bertengger seekor kucing milik tetangga. Mungkin dia tidak menerima sepeda motor majikannya menjadi tempat nyantai. Dan mungkin juga dia meluapkan amarahnya karena si kucing dengan seenaknya mencoba masuk ke daerah teritorialnya. Bisa jadi.
Mungkin juga anjing kami menaruh dendam, karena sejak kecil saat penulis pelihara di usia tiga bulan, seringkali makanannya diambil oleh kucing tetangga. Bagi anjing penulis yang tubuhnya masih mungil dan usianya masih belia, tidaklah mungkin berani melawan kucing yang badannya lebih gede dan perawakannya sangar. Secara kejiwaan, bisa jadi anjing kami menyimpan sakit hati, sehingga saat melihat atau bertatapan langsung dengan kawanan kucing yang mungkin sudah membuat geng, seringkali langsung menyalak dan seakan mau mengajak tawuran dan menerkam.
Dan buat penulis yang beberapa hari ini sedang sakit gigi, suara gonggongan dengan nada tinggi menjadikan tensi ini naik dan gigi berasa lebih nyut-nyutan. Mencoba bertahan tidak ke dokter gigi karena penulis anggap, gigi akan tanggal dengan sendirinya. Ternyata kondisinya tidak lebih baik. Mau tidak mau, suka tidak suka penulis berangkat juga ke dokter gigi dengan harapan rasa ngilu dan nyeri saat makan bisa berkurang. Sekaligus mengurangi rasa marah dan emosi.
Ternyata dokter gigi langsung ambil tindakan untuk mencabut gigi penulis. Bukan karena mumpung gratis cabut gigi dibiayai BPJS. Tidak. Tetapi yang menjadi masalah kemudian adalah, penulis harus mengambil keputusan lain. Karena gigi yang dicabut tadi ternyata buat penahan tatakan atau lempengan gigi palsu penulis, yang ada di sebelahnya. Akibat dicabutnya gigi penulis ini, maka harus dilakukan reposisi gigi penulis. Layakkah penulis marah seperti anjing kami saat merespon sesuatu yang terjadi di hadapannya ?
Seperti halnya saat melihat berita-berita yang berseliweran di media elektronik yang tidak memihak kepada warga negeri khatulistiwa. Sejak kejadian penetapan calon wakil presiden yang mengorbankan aturan baku sampai kejadian pagar laut yang mengharu biru, sampai kejadian oplosan pertamax dan pertalite dengan nilai korupsi yang trilunan rupiah. Apa yang ada di benak kita sebagai manusia normal yang mencoba patuh kepada hukum. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah layakkah kita marah ?
Jadi ingat kisah Nabi Yunus selepas keluar dari mulut seekor ikan yang sudah menelannya bulat-bulat. Dan ketika kemudian proses kehidupannya berjalan dengan tidak seiring apa yang dikehendakinya, membuat dia marah kepada Tuhan. Bahkan sampai pohon jarak yang tiba-tiba layu karena ulat yang menggerek daunnyapun, dia protes keras dan marah kepada Tuhan  Tetapi apa jawab-NYA. Layakkah engkau marah ?
Menjadikan sebuah catatan ketika kemudian respon yang berbeda datang secara mengejutkan. Engkau sayang kepada pohon jarak itu, yang untuknya sedikitpun engkau tidak berjerih payah dan yang tidak engkau tumbuhkan, yang tumbuh dalam satu malam dan binasa dalam satu malam pula. Menjadikan sebuah tampilan di dalam sebuah cermin yang tidak retak.