Mohon tunggu...
Herman Utomo
Herman Utomo Mohon Tunggu... Penulis - pensiunan

mencoba membangkitkan rasa menulis yang telah sekian lama tertidur... lewat sudut pandang kemanusiaan yang majemuk

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Terusir...

20 Maret 2023   10:35 Diperbarui: 20 Maret 2023   10:41 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pexels-olia-danilevich-8093039

Ada sepenggal kalimat yang tertinggal yang belum sempat terurai, ketika membuka kembali artikel penulis yang berjudul Deja Vu. Sedikit terlintas ketika membaca penggalan kalimat. Anak sulung lalu mengingat, bagaimana dia diusir keluar dari Semarang oleh penulis, sehabis  wisuda. Apa masalahnya ?

Saat itu, ketika anak sulung penulis dinyatakan lulus SI dan baru saja diwisuda, kami berlima, isteri dan ketiga anak kami, merayakan untuk mengucap syukur di sebuah rumah makan di Semarang. Sambil menikmati makanan kami berbincang ringan. Sampai pada akhirnya penulis katakan kepada anak sulung. Habis ini mau ngapain ?

Pertanyaan yang mengagetkan dan tidak terduga sempat membuat anak sulung menjawab sekenanya. Aku mau santai-santai dulu menikmati kelulusan, baru nanti dipikirkan langkah berikutnya. Sebuah pemikiran yang asal tanpa dasar membuat hati dan pikiran bergejolak. Mendengar pernyataan anak sulung, saat itu juga penulis katakan kepada dia, sesuai ijazahmu, tempatmu bukan di Semarang tetapi masuklah ke Jakarta, karena di sana, kamu bisa kembangkan potensimu. Persiapkan mulai hari ini.

indonesia-3465931
indonesia-3465931

Sekalipun pengusiran kepada anak sulung seketika mendapat perdebatan dari istri dan anak sulung, tetapi akhirnya anak sulung menurut untuk memasuki ibu kota Jakarta yang kata orang lebih kejam dari ibu tiri. Sebuah perjuangan dan pergumulan mencari pekerjaan di tengah rimba belantara beton-beton yang menjulang, meninggalkan zona nyamannya, adalah proses yang mau tidak mau harus dihadapi.

people-4295080
people-4295080

Tiga bulan setelah beradu peluh, naik turun angkot, diterpa hujan di Jakarta, sesuatu terjadi. Tiba-tiba anak sulung menelpon kami. Dia katakan kepada kami orang tuanya, terima kasih papa, sudah usir aku. Kalau gak begini, aku gak tau apa jadinya. Dia beri kabar kalau sudah diterima di sebuah perusahaan asing yang bergerak di bidang animasi, sesuai yang menjadi cita-citanya sejak kecil.

Bukan suatu kebetulan juga ketika penulis membaca sebuah frasa yang melambangkan sesuatu yang bisa saja terjadi di dalam perjalanan kehidupan kita. Laksana rajawali menggoyangbangkitkan isi sarangnya, melayang-layang di atas anak-anaknya, mengembangkan sayapnya, menampung seekor, dan mendukungnya di atas kepaknya. Dan ketika menyelaraskan dengan putaran video yang memperlihatkan bagaimana induk rajawali melatih terbang kepada anak-anaknya, ternyata adalah benar adanya.

Ketika si anak rajawali mulai bertumbuh, si induk rajawali perlahan-lahan mulai mengurangi asupan makanan. Dan selanjutnya si induk mulai mengobrak-abrik bulu-bulu yang ada di sangkarnya. Sehingga si anak rajawali belajar berdiri dengan kedua kakinya diantara ranting-ranting kayu dan duri-duri. Dan tindakan berikutnya yang dilakukan induk rajawali adalah mendorong si anak rajawali keluar dari sarangnya agar mulai bisa terbang dengan kedua sayapnya. Si anak rajawali dipaksa keluar dari zona nyamannya.

pexels-eberhard-grossgasteiger-1612371
pexels-eberhard-grossgasteiger-1612371

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun