Mohon tunggu...
Herman Hasyim
Herman Hasyim Mohon Tunggu... -

Wartawan bertanya "ada apa". Filosof bertanya "mengapa". Dan orang kreatif bertanya "apa jadinya bila".

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jilbab dan Rok Mini: Menyahut Tulisan Katrokelana

2 Juni 2012   08:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:29 1169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Halo, Mas Katrokelana…

Perkenalkan, aku Herman Hasyim. Aku bukan ahli di bidang agama lho. Aku juga bukan orang yang hobi ngomongin agama. Lebih dari itu, aku termasuk orang yang tak sanggup mempredikati diri sebagai anggota Islam liberal atau Islam tekstual. Dengan posisi itulah aku mencoba menanggapi tulisan sampean berjudul “Mengapa Aku Tobat dari Islam Fundamentalis?”

Pertama, batas antara fakta dan fiksi itu memang tipis, Mas. Banyak pembaca tulisan sampean yang meragukan faktualitas tulisan sampean. Tapi, aku tak hendak meributkan itu. Prinsip dasarnya, baik tulisan berisi fakta maupun fiksi harus logis. Keduanya harus bisa diterima nalar. Karya fiksi harus tampak sungguh-sungguh. Harus meyakinkan.

Kalau kenyataannya banyak pembaca tulisan sampean yang bertanya begini-begitu soal cerita sampean, bahkan ada yang meminta supaya ditransmigrasikan ke rubrik fiksi, ya mungkin saja di mata mereka tulisan sampean masih kurang meyakinkan. Ya, kurang meyakinkan berarti derajatnya sedikit di atas ‘kabar burung’.

Oya, sampean memilih jadi sosok anonim. Itu juga bukan masalah, dan tidak perlu aku permasalahkan. Hanya, sebagai sosok remang-remang, sampean kudu ngerti juga lho bahwa penyebutan entitas-entitas lain dalam tulisan itu perlu kehati-hatian.

Sampean bilang bahwa sampean pernah jadi aktivis HMI. Nah, HMI itu kan organisasi yang nyata, bukan hasil rekayasa tukang cerita. Karena ia institusi nyata, para pembaca tulisan sampean berhak menanyakan lebih lanjut, misalnya: Sampean aktivis HMI di kampus mana? Kapan itu? Jadi pengurus atau sekadar tukang sorak? Dan seterusnya.

Kalau boleh menyarankan nih ya. Lain kali kalau sampean ingin konsisten sebagai sosok anonim dan tidak ingin repot menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan entitas-entitas faktual di tulisan sampean, ya anonimkan semua nama orang atau organisasi di tulisan sampean, sebagaimana sampean menganonimkan nama ponpes dan instansi sampean.

Perkara nanti ada yang memvonis sampean sebagai CERPENIS pemula, ya acuhkan saja. Toh masih ada CER-nya, kan? Kalau CER-nya tidak disebut, baru sampean boleh mencak-mencak….

Kedua, ada yang janggal ketika sampean mendeskripsikan model pendidikan di pesantren sampean. Di satu sisi, kata sampean, pesantren itu memperkenalkan tarekat dan tasawuf. Tapi kok di sisi lain, kata sampean juga, pesantren itu menerapkan konsep amar ma’ruf nahi munkar model FPI.

Para pembaca yang kebetulan pernah menyantren bisa dengan mudah mendeteksi kejanggalan itu lho, Mas Katro. Tarekat dan tasawuf itu kan beda banget dengan ajaran FPI, Mas? Malah bukan hanya berbeda, tapi juga dalam berbagai aspek bertentangan. Keduanya bak air dan minyak. Kita sulit lho, Mas Katro, menemukan data pesantren yang nyufi atau kelompok tarekat menyerbu tempat judi dan biliard.

Sekali lagi, agar para pembaca tulisan sampean yakin bahwa sampean bukan sedang mengarang fiksi, monggo sampean jelaskan kejanggalan ini….

Ketiga, sayang loh, Mas Katro, sampean kok agaknya meremehkan definisi operasional. Kata sampean, bahasa itu arbitrer. Mana suka. Betul, pada mulanya bahasa itu arbitrer, Mas Katro. Tapi, sebagai alat berkomunikasi, ia tidak bisa semata-mata arbitrer. Bahasa juga butuh konsensus. Bahkan kadang perlu ada otoritas untuk menentukan pengertian kata-kata.

Nah, sayangnya sampean kurang jernih saat membuat definisi. Bahkan definisi itu baru nongol di kolom komentar, setelah beberapa pembaca mengajukan pertanyaan. Dengan begitu, sampean seolah-olah berpikir bahwa seluruh pembaca sepaham dengan sampean mengenai pengertian liberal, literal, fundamental, dan lain-lain.

Di kolom komentar, mengenai arti fundamentalis, sampean menulis begini:

“Dua kata ini memang memiliki batasan yg berbeda bagi masing-masing,misalnya, fundamentalis yg sy maksud adalah merujuk pd perilaku beragama mereka yang: pro syariah di ruang publik, anti demokrasi, dan formalistik ritualistik, lalu penafsiran yang cenderung teksyual.”

Definisi itu kan selain menerangkan, juga membatasi. Suatu definisi mestinya memperjelas, bukan memperuwet. Masalahnya, Mas Katro, definisi fundamentalis yang sampean bikin terlalu banyak memuat kata-kata abstrak yang memerlukan penjelasan lebih lanjut.

Misalnya nih ya: Pro syariah di ruang publik. Opo iku maksude? Formalistik ritualistik itu sejenis formalin ya? Nah, kalau teksyual itu mungkin ada hubungannya dengan sensyual?

Keempat, ini tentang mengutip pendapat orang. Kita sering diingatkan, kalau memang pendapat pribadi, ya katakan saja itu pendapat pribadi. Kalau pendapat orang, ya sebutkan dengan gamblang siapa orang itu. Itu kan hal prinsipil di dunia akademis.

Konon ustat (pake T, bukan D) sampean pernah bilang bahwa orang mendalami agama itu hanya ada tiga kemungkinan, yaitu jadi teroris, gila, atau murtad.

Izinkan aku menerka-nerka. Karena sampean tidak menyangkal pendapat itu, sampean menyutujuinya. Agama dalam kutipan kalimat sampean itu kan tidak dikavling-kavling. Tesis ustat (sekali lagi pake T, bukan D) sampean itu kan berkenaan dengan seluruh agama di kolong bumi ini.

Dengan logika itu, berarti sampean (dan mungkin USTAT sampean) juga ingin bilang bahwa uskup di vatikan itu kalau tidak teroris, ya pasti orang gila atau murtad. KH Hasyim Asy’ari itu pastilah begitu juga. Dan seterusnya.

Sebagai orang yang tidak tekstual, mungkin sampean akan berusaha mengelak bahwa teroris, gila dan murtad dalam pengertian sampean berbeda dengan pemahaman pihak lain di luar diri sampean. Ya, monggolah… Yang penting, upaya pengelakan itu harus meyakinkan. Salah mengelak bisa ditubruk kendaraan lho. Nggak percaya, coba sesekali keluar kamar dan menyebrang jalan raya…

Kelima, sebagai orang yang mengaku sebagai pemikir bebas (free thinker), menurutku sampean ini tergolong pemikir bebas yang nanggung.

Mas Katro, sampean bercerita bahwa perjalanan spiritual sampean telah mengalami titik balik. Dari sebelumnya terlalu kanan, kini beranjak ke tengah.

Nah, sampean kemudian mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan: Benarkah cara beragamaku? Benarkah nikmatnya ibadah adalah tanda kebenaran? Benarkah sulitnya ritual adalah tanda kebenaran? Mengapa umat Islam yang minoritas di suatu negara tidak dapat berintegrasi secara alami (mindanao, patani, rohingya, eropa, amerika, atau xinziang)? Adakah yang salah? Mengapa…? Mengapa…? …dan banyak lagi mengapa?

Terus, kenapa kubilang sampean sebagai pemikir bebas yang nanggung? Karena pertanyaan-pertanyaan yang sampean susun itu melompat jauh. Sampean tidak memulainya dari pertanyaan mendasar.

Ini sekadar saran ya, Mas Katro. Boleh didengar boleh dicampakkan. Kalau sampean memang ingin mengajukan pertanyaan selaku free thinker, ajukanlah mulai dari pertanyaan yang paling mendasar (ini radikal ini cuy!).

Sampean mungkin bisa mempertimbangkan usulan pertanyaan yang kuurutkan berikut ini: Haruskah aku beragama? Mengapa harus atau tidak harus? Kalau aku beragama, pillih agama yang mana? Oke, aku pilih agama A, tapi agama A yang model bagaimana? Apa konsekwensinya bila aku memilih agama A model X? Dan seterusnya.

Keenam, ah… kapan-kapan aku sambung. Aku mau ngopi dulu, Mas, sambil nyari ‘pemandangan’ bagus. Ya, siapa tahu bisa ketemu cewek liberal berjilbab panjang dan cewek literal pake rok mini…

Rawamangun, 2 Juni 2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun