Mohon tunggu...
Herman Hasyim
Herman Hasyim Mohon Tunggu... -

Wartawan bertanya "ada apa". Filosof bertanya "mengapa". Dan orang kreatif bertanya "apa jadinya bila".

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Ayo, Lebih Teliti dan Hati-hati dalam Menulis

10 Desember 2011   02:12 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:36 5198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

[caption id="" align="alignleft" width="280" caption="Ilustrasi: www.cardozo.yu.edu"][/caption] Hari ini saya ingin mengajak Anda membahas hal sepele namun tak pantas disepelekan. Kita akan mengulas masalah penggunaan bahasa.

Kemarin saya menemukan tulisan menarik di situs hukumonline—sebuah situs yang mengkhususkan pemberitaannya pada masalah hukum. Tulisan itu berjudul Enam Kesalahan Penerapan Bahasa dalam Peraturan.

Kita tahu, bahasa hukum memiliki kekhasan seperti harus baku, taat azas, tidak multitafsir, dan seterusnya. Apabila bahasa yang dipakai suatu peraturan perundang-undangan memiliki cacat atau mengandung kekeliruan, akibatnya bisa fatal. Karena itulah, dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, selain ada tim perumus dan tim sinkronisasi, juga diniscayakan adanya tim yang bertugas menyelaraskan bahasa.

Lalu, apa yang ingin saya soroti kali ini?

Begini, Kawan. Menurut saya, berita yang dikhalayakkan hukumonline itu menarik diperbincangkan lantaran jarang ada media yang mengangkat persoalan kesalahan berbahasa dalam penyusunan peraturan di negeri ini.

Masalahnya, ketika memberitakan kesalahan berbahasa, pada waktu bersamaan hukumonline justru tidak cermat dalam berbahasa. Mari kita buktikan.

Kita mulai dari paragraf pertama. Di sana terdapat kalimat: “Setidaknya ada enam ketidaktepatan penerapan kaidah bahasa yang ditemukan dalam peraturan-perundangan di Indonesia.”

Perhatikan frase yang saya cetak tebal. Tepatkah penulisan “peraturan-perundangan” itu? Jawaban saya: tidak tepat! Yang tepat adalah “peraturan perundang-undangan”, karena kata dasarnya adalah “atur” dan “undang-undang”, bukan “atur” dan “undang”.

Kita melangkah ke paragraf kedua. Perhatikan kalimat “Demikian bahan pemaparan Ebah Suhaebah dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional….. “

Yang saya persoalkan adalah ketelitian menyebut nama lembaga. Kita tahu, sejak akhir Oktober 2011, Kementerian Pendidikan Nasional berubah menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jadi, dalam hal penyebutan nama lembaga, kali ini hukumonline tidak teliti.

Kita melompat ke paragraf keenam. Yang ini sesungguhnya kesalahan kecil, tapi bolehlah kita jadikan renungan. Perhatikan kalimat “Ebah, lalu mencontohkan, kesalahan pemakaian huruf kapital.”

Jika benar-benar ingin berkelit dari kesalahan berbahasa, setelah kata “Ebah” seharusnya tidak perlu ada tanda koma. “Ebah” sebagai subjek dan “mencontohkan” sebagai predikat, semestinya tidak dipisahkan koma. Boleh saja subjek dan predikat disekat tanda koma, asalkan keduanya disisipi keterangan tertentu. Itupun harus dua koma.

Supaya tidak bingung, saya beri contoh yang benar:

(1)Ebah lalu mencontohkan…..

(2)Ebah, yang sudah bertahun-tahun menganalisis kesalahan berbahasa, mencontohkan….

(3)Ebah, dengan mimik serius, mencontohkan….

Jangan alihkan perhatian Anda dari paragraf keenam. Mari kita memfokuskan diri pada kalimat:

“Seperti kerapnya menulis ‘Pengadilan Niaga’, yang seharusnya tidak ditulis dengan huruf kapital. Begitu pula dengan penulisan ‘Pemerintah Daerah’. Huruf kapital digunakan jika diikuti dengan nama tempat.”

Kali ini hukumonline tidak jernih dalam membuat uraian. Coba perhatikan sekali lagi. Maksud si pembuat berita, penulisan frase ‘Pengadilan Niaga’ dan ‘Pemerintah Daerah’ itu keliru karena huruf awal pada kata “Pengadilan” dan “Niaga” serta “Pemerintah” dan “Daerah” ditulis menggunakan huruf kapital.

Supaya lebih jernih, kalimat itu dapat diubah begini:

“Seperti penulisan ‘Pengadilan Niaga’ dan ‘Pemerintah Daerah’ yang kerap salah. Jika tidak diikuti dengan nama tempat, seharusnya huruf awal pada tiap-tiap frase itu tidak ditulis menggunakan huruf kapital.”

Baiklah, sekarang kita meluncur ke paragraf ke-11. Perhatikan kalimat:

“Menanggapi itu, pengajar ilmu perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sony Maulana Sikumbang memberikan komentar.”

Kali ini saya ingin jeda sejenak. Saya mau merokok sebentar. Silahkan Anda urai sendiri kekurangtepatan penggunaan tanda baca pada kalimat itu.

Hemmm… Satu batang telah ludes. Saatnya melanjutkan pembahasan. Sampai di mana tadi?

Oke, sekarang kita berangkat menuju paragraf ke-12. Perhatikan kalimat:

“Namun, Sony menyatakan ada beberapa pasal yang rumusan-rumusan memang sulit untuk mengikuti kaedah bahasa Indonesia. Pasalnya, sudah menjadi kebiasaan dan jadi rumusan baku.”

Secara keseluruhan, sebagai orang yang ditodong untuk memberikan second opinion, Sony Maulana tidak melontarkan pernyataan-pernyataan yang memperkaya berita. Kalimat di paragraf ke-12 itu salah satu buktinya. Pernyataan itu masih sumir. Diperlukan contoh-contoh agar ia menjadi jelas.

Berikutnya, tataplah kalimat di paragraf ke-13 ini:

“Dia teruskan, dalam batang tubuh satu peraturan perundang-undangan, memuat ketentuan umum, ketentuan materi, ketentuan pidana, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup.”

Rupanya si pembuat berita lupa bahwa keterangan tidak boleh difungsikan sebagai subjek. Supaya tidak kacau, kalimat itu bisa diubah begini:

“…..batang tubuh peraturan perundang-undangan memuat….”

Atau begini:

“….. dalam batang tubuh peraturan perundang-undangan dimuat..…”

Kesalahan serupa terjadi di paragraf ke-14. Perhatikan kalimat: “Karena dalam ketentuan materi, menguraikan perintah-perintah, larangan yang ditujukan pada orang.”

Kalimat itu dapat diubah begini:

“Karena ketentuan materi menguraikan perintah-perintah….”

Atau begini:

“Karena dalam ketentuan materi diuraikan perintah-perintah….”

Terakhir, saya ingin Anda membaca taiching berita di hukumonline itu yang berbunyi: Bahasa peraturan harus ditulis dengan teliti dan hati-hati melebihi penulisan untuk kepentingan lain.

Hemmm…. Ternyata bukan hanya bahasa peraturan yang harus ditulis dengan teliti dan hati-hati. Bahasa jurnalistik pun harus diperlakukan sama!

Rawamangun, 10 Desember 2011

Sekadar info: Saya pernah menjadi bagian dari situs hukumonline, dari 2006 hingga 2008. Dengan demikian, bolehlah saya katakan bahwa ulasan ini merupakan ‘nasehat’ untuk generasi penerus kami di sana, sekaligus bahan renungan kita di sini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun