Mohon tunggu...
Herlambang Saleh
Herlambang Saleh Mohon Tunggu... Guru

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah (Pram)

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Pilihan Kita, Berhenti Mengeluh atau Berhenti Bekerja?

26 September 2025   12:42 Diperbarui: 30 September 2025   07:34 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: mencari kerja. (Foto: KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN) 

"Pekerjaan yang engkau keluhkan adalah pekerjaan yang orang lain inginkan, jadi berhentilah, pilih antara berhenti bekerja atau berhenti mengeluh."

"Pekerjaan yang engkau keluhkan adalah pekerjaan yang orang lain inginkan, jadi berhentilah, pilih antara berhenti bekerja atau berhenti mengeluh." 

Kutipan ini bukan sekadar kalimat motivasi, melainkan sebuah cermin yang memantulkan realitas pahit banyak pekerja. Kita seringkali terjebak dalam lingkaran keluhan, merasa pekerjaan kita terlalu berat, gajinya kurang, atau bosnya menyebalkan. Namun, pernahkah kita berhenti sejenak dan melihat ke sekeliling?

Data dari lapangan menunjukkan betapa tingginya persaingan di luar sana. Di Kabupaten Cianjur, misalnya, lebih dari 1.000 orang mengantri untuk melamar kerja di sebuah minimarket. 

Sementara itu, di Kota Bandung, lebih dari 200 pencari pekerjaan memadati sebuah restoran kuliner Jepang yang hanya menyediakan sembilan lowongan. 

Fenomena ini membuktikan bahwa posisi yang sedang kita keluhkan adalah impian bagi ribuan orang lainnya yang sedang berjuang keras. 

Mereka adalah lulusan SMA dan SMK, datang dari berbagai daerah seperti Bogor, Kabupaten Bandung, hingga Cimahi, semua berbondong-bondong hanya untuk mendapatkan satu kesempatan.

Para pencari kerja ini menghadapi tantangan besar. Mereka mengeluh tentang sulitnya mendapatkan pekerjaan dan merasa janji pemerintah tentang 19 juta lapangan kerja hanyalah ilusi. 

Perasaan ini didukung oleh data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat, yang menunjukkan bahwa meskipun persentase pengangguran (TPT) sedikit menurun, jumlah pengangguran justru meningkat dari 1,77 juta menjadi 1,81 juta orang. 

Mereka juga mengeluhkan persyaratan yang terasa diskriminatif, seperti terkait fisik dan usia, yang semakin mempersulit langkah mereka.

Namun, di tengah kondisi ekonomi yang sulit ini, budaya kerja di Indonesia memiliki nuansa yang unik. Kita cenderung mengedepankan harmoni dan kekeluargaan. 

Hubungan dengan atasan dan rekan kerja sering kali lebih dari sekadar profesional, melainkan juga personal. Kita diajarkan untuk menjaga perasaan dan menghindari konfrontasi. 

Hal ini membuat banyak orang lebih memilih loyalitas dan menahan diri, meskipun ada ketidaknyamanan. Daripada mengambil risiko mencari pekerjaan baru atau berkonflik, mereka memilih stabilitas yang ada, berharap keadaan akan membaik seiring berjalannya waktu.

Pada akhirnya, keluhan yang tidak tersalurkan secara konstruktif hanya akan menumpuk menjadi frustasi. Kita merasa lelah, tidak dihargai, dan terjebak dalam rutinitas yang membosankan. 

Kutipan di atas menawarkan dua pilihan yang sangat jelas: berhenti bekerja atau berhenti mengeluh. Jika pekerjaanmu benar-benar tidak bisa lagi kamu toleransi, mungkin saatnya untuk melepaskan. Namun, jika pilihan itu terlalu berat, satu-satunya cara adalah berhenti mengeluh. 

Ubah pola pikir, fokus pada apa yang sudah kamu genggam, dan jadikan pekerjaanmu saat ini sebagai batu loncatan untuk masa depan yang lebih baik.

Jadi, pilihan ada di tanganmu. Terus-menerus mengeluh dan membiarkan diri terperangkap dalam kepahitan, atau mengambil alih kendali, baik dengan mencari jalan baru atau mengubah perspektif. (hes50)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun