"Hebat ya, bisa haji masih muda!"
Kalimat itu sudah berkali-kali saya dengar. Ucapan selamat yang datang dari teman, kerabat, bahkan orang yang baru mengenal saya. Saya tersenyum, tentu saja. Tapi di balik senyum itu, hati saya selalu merasa janggal. Karena sejujurnya, saya tidak merasa melakukan sesuatu yang layak disebut "hebat".
Saya hanya menjalani apa yang dulu pernah disampaikan oleh guru kehidupan saya, Bu Bai. Beliau pernah berkata, "Kalau memang benar niat berhaji, jangan hanya disimpan dalam hati. Niat itu harus di-azzam-kan, diwujudkan dalam tindakan nyata. Salah satunya, ya, dengan buka tabungan haji."
Kalimat itu begitu membekas. Maka ketika saya mulai bekerja, saya pun menyisihkan Rp500.000 setiap bulan untuk tabungan haji. Padahal, saat itu ada juga keinginan untuk melanjutkan studi S2. Tapi karena belum tahu pasti ingin meneliti apa, saya putuskan untuk bekerja dulu, sambil menabung. Sayangnya, ketika saya harus keluar dari pekerjaan, tabungan itu pun terhenti.
Ta'aruf, Tabungan, dan Takdir
Kemudian Allah mempertemukan saya dengan seseorang yang kini menjadi suami saya. Dalam proses ta'aruf, salah satu hal yang saya tanyakan adalah: "Apakah sudah punya tabungan haji?" Mungkin terdengar tidak biasa, tapi bagi saya itu penting. Alhamdulillah, ternyata dia sudah mendaftar sejak 2013.
Setelah menikah, topik haji menjadi bahasan rutin setiap kali kami bersilaturahmi ke rumah orang tua suami. Namun, apakah setelah menikah tabungan haji saya langsung terisi kembali? Tentu tidak. Tapi suami saya, yang biasa saya panggil "si akang", dengan sabar dan konsisten menyisihkan sebagian pendapatannya untuk mendaftarkan saya. Hingga akhirnya, di tahun 2017, kami bisa mendaftar dan mendapatkan nomor porsi.
Nomor porsi itu bukan akhir, tapi justru awal dari perjalanan panjang. Kami masih harus menabung untuk pelunasan. Jadwal keberangkatan suami adalah tahun 2021, sedangkan saya sekitar tahun 2030-an. Ada kabar bahwa pasangan bisa berangkat bersama sebagai pendamping, tapi informasinya masih simpang siur. Kami pun memilih fokus menabung.
Pandemi dan Ujian Kesabaran
Lalu datanglah pandemi. Baitullah ditutup. Dunia seakan berhenti. Kita semua masih ingat betapa sunyinya Masjidil Haram yang biasanya penuh dengan jemaah thawaf. Haji pun tertunda. Jadwal keberangkatan ikut mundur. Kami hanya bisa bersabar dan mengikhlaskan.