Keputusan saya memilih tanah Papua sebagai tempat untuk mengais rejeki mengalami perjalanan yang panjang. Ada beberapa tawaran yang menghampiri namun pada akhirnya Bumi Cendrawasih inilah yang saya pilih. Lucunya, keputusan mantap ini diambil setelah beberapa malam sebelumnya saya bermimpi berada di suatu lapangan yang dikelilingi oleh orang yang memakai baju adat Papua dan memegang panah. Walau keliatan konyol, tapi saya mengganggap bahwa ini  adalah bentuk komunikasi Tuhan kepada saya agar memilih berkarir di Papua.
Di Tanah Amungsa Bumi Kamoro ini, saya mengalami berbagai lawatan Tuhan yang pada akhirnya menempa saya untuk menjadi pribadi yang bermental baja dalam menghadapi berbagai dinamika. Â Mau tahu apa saja hal tersebut, saya akan urai satu persatu
1. Belajar Ikhlas.
Menjelang akhir tahun 2016, saya baru kali ini merasakan bagaimana rasanya kehilangan benda dengan nilai cukup besar. Saya harus merelakan Smartphone Windows, Netbook Asus, kartu ATM lengkap dengan tasnya dengan taksir kerugian sekitar 5 juta rupiah. Nilainya sama dengan dua bulan gaji saya sebagai tenaga honorer. Selain nilainya, Â data-data yang terekap dalam gawai saya tersebut sangatlah penting. Ada berbagai kenangan yang tersimpan di dalamnya.
Namun saya percaya, inilah bagian dari teguran Tuhan kepada saya untuk tak berlaku teledor lagi, mengikhlaskan hal yang sudah berlalu dan sabar menghadapi cobaan ini. Pada akhirnya, Tuhan tidak menutup mata atas apa yang berlaku pada saya. Tuhan menggerakkan orang di sekitar saya untuk membantu saya. Lewat tangan Pak Kepala Dinas (Johannes Rettob), Pak Oktofianus Rahanjaan, adik saya (Clearly Rantelino) yang bekerja di kepolisian, akhirnya saya bisa membeli gadget baru lagi.
2.Belajar lapang dada.
Saya akui di Papua, isu sentimen terhadap suku lebih tinggi dibanding sentimen  terhadap agama. Ini adalah bagian dari realita kehidupan masyarakat dimana ada yang suka dan ada juga yang tak menyukai keberadaan kita. Apapun yang terjadi, hal ini tak mempengaruhi saya untuk tetap berkarya dan berbakti tanpa membeda-bedakan orang.
3.Belajar Mandiri.
Pada awal menginjak Papua di tahun 2016, saya hanya mengenal satu kerabat yang berasal dari keluarga Ibu. Sambil beradaptasi, saya tinggallah di rumah keluarga tersebut. Pergaulan saya pun hanya dalam lingkungan kompleks tersebut . Namun seiring dengan waktu, saya akhirnya mendapat banyak teman yang sudah saya anggap keluarga sendiri. Ada yang berasal dari lingkungan kerja, ada dari PT. Freeport Indonesia, dari Hotel Horison, dari orang asli Papua dan dari orang-orang yang berasal satu daerah dengan saya.
Saat ini saya memutuskan menjadi anak kost agar lebih mandiri. Walaupun penghasilan saya hanya sebatas UMK saja, tapi dengan strategi, saya bisa hidup secukupnya. Dalam kamus hidup saya, saya paling anti meminta-minta atau memasang wajah kasihan kepada orang-orang tapi entah mengapa pada akhirnya ada saja orang yang membantu saya. Ada yang kasih beras, mie, buah-buahan, buku dan makanan ringan. Ada juga yang menyempatkan waktunya untuk berbagi pengalaman hidupnya dengan saya. Â Pada akhirnya saya percaya di Papua ini banyak orang-orang baik.
4. Belajar Sabar