Bahkan kalau sudah parah, mereka mendapat rujukan ke rumah sakit nasional bahkan ada yang rujuk ke luar negeri. Saya pernah bertandang ke rumah sakit ini dan saya melihat langsung perawatannya yang tak tanggung-tanggung. Tak ada perbedaan bagi masyarakat umum dengan masyarakat Papua. Semua mendapat pelayanan maksimal.
Membludaknya orang membanjiri RS ini utamanya dari masyarakat tujuh suku. Karena saya bukan termasuk golongan tanggungan gratis (statusnya perantau), saya membayar kurang lebih bayar 70 ribu. Saya tidak bisa bayangkan berapa dana yang ditanggung Freeport untuk mereka yang mengidap penyakit berat, datang berombongan, gratis lagi. Jikalah kasus ini semakin berkepanjangan, Freeport bisa saja menghentikan dana karena keterbatasan finansial alhasil masyarakat tujuh suku akan kesusahan mengakses fasilitas kesehatan secara gratis.


Carut marut kasus Freeport berdampak langsung terhadap kegiatan perekonomian di Mimika, di antaranya:
a. Penghasilan supirtaksi/angkot menurun
Hari Jumat yang lalu saya bertolak dari Kuala Kencana yang merupakan salah satu kawasan Freeport. Dalam perjalanan pulang menuju Kota Timika, saya terpaksa mencarter salah satu kendaraan angkot yang di daerah ini disebut taksi. Pasalnya, tak ada satupun penumpang yang naik padahal saya sudah menunggu lebih dari sejam. Di dalam angkot, saya dan supirnya banyak berbincang-bincang utamanya menyangkut Freeport. Saya penasaran adakah dampak kasus ini terhadap pemasukan mereka. Supir ini mengaku bahwa dua minggu terakhir jarang sekali penumpang yang menggunakan jasa mereka. Mereka hanya berharap dari orang-orang yang mencarter angkot mereka. Pak supir ini mengaku bahwa normalnya pendapatan mereka paling sedikit 300 ribu per hari, namun sekarang sudah tak menentu, paling untung kalau bisa dapat 100 ribu.
b. Menurunnya Omzet Penjualan Pedagang Barang Kelontong di Kuala Kencana
Saya juga sempatkan mendengar keluhan dari pedangan barang kelontong di pasar tak jauh dari terminal kecil taksi Kuala Kencana. Beliau mengeluhkan omzet penjualan mereka menurun drastis dari yang awalnya 5 juta perhari, namun sekang hanya 1,5 juta atau penurunan hampir 70 persen. Hal ini bisa memberikan gambaran bahwa para karyawan Freeport lagi hemat-hematnya.
c. Perputaran Bisnis di Ibu Kota Mimika Ikut Terganggu
Timika sebagai ibu kota dari Kabupaten Mimika sekaligus daerah yang seksi untuk berbisnis mendadak menjadi sepi. Beberapa pengusaha mengeluh di antaranya jumlah pengunjung ke tukung cukur menurun, toko tekstil di bilangan Budi Utomo sepi pembeli, bahkan dilansir media cetak lokal jumlah penumpang maskapai penerbangan dari dan ke Timika mengalami penurunan. Dampak lainnya adalah akibat daya beli masyarakat yang menurun, dikhawatirkan terjadi pengurangan karyawan di toko-toko Timika sebagai salah satu siasat unit bisnis mengurangi pengeluarannya.
Penutup
Freeport dan pemerintah Indonesia diharapkan bisa menyelesaikan kasus ini dengan baik. Point-point yang menyulitkan selama ini segera dicari jalan keluarnya. Semakin berlarut, akan mengganggu perekonomian daerah dan bisa membawa petaka bagi semua kalangan tanpa terkecuali mulai dari karyawan, pedagang, hingga tenaga honorer daerah kayak saya ini karena upah saya bersumber dari APBD.
Kurangnya pemasukan pendapatan daerah dari Freeport juga berimbas kepada kami, tenaga-tenaga honorer di instansi pemerintahan, entah penundaan, pengurangan tunjangan daerah atau yang paling menakutkan jika dilakukan pengurangan tenaga honorer untuk menutupi pembengkakan belanja daerah. Kalau dari hati saya paling dalam, sebenarnya tak rela sih karena upah selama ini yang saya terima saya gunakan bertahan hidup di Kabupaten Mimika yang merupakan bagian dari miniatur penelitian, tempat menimba pengalaman dan tempat menempa mental saya (eh..malah curhat nih)