Mohon tunggu...
Heri Kurniawansyah
Heri Kurniawansyah Mohon Tunggu... Administrasi - Pemimpi

Traveling

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Aku Bercerita tentang Negeriku di Bulan Agustus

10 Agustus 2017   14:19 Diperbarui: 10 Agustus 2017   14:24 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh : Heri Kurniawansyah HS

(Fisip UNSA & Penerima Beasiswa LPDP RI Magister Departemen Kebijakan Publik Fisipol UGM)

 

Ketika aku mendengar kata "Agustus", pikiranku dan bahkan kita semua tentu akan tertuju pada hari jadi negeri ini. Hari ulang tahun biasanya selalu dimaknai bahwa harapan-harapan yang belum terkabulkan agar dapat terwujud di masa-masa yang akan datang. Namun pemaknaan harapan-harapan tersebut sejatinya harus direfleksikan tidak hanya dihari jadinya, melainkan di setiap harinya bahwa harus ada ikhtiar dalam merubah kehidupan kearah yang lebih baik, begitu juga dengan hari jadi bangsa ini, sejatinya refleksi bangsa ini tidak hanya terjadi di bulan agustus semata, namun refleksi tersebut harus tercipta dari hari ke hari secara bersama-sama membangun bangsa demi meredam "demistifikasi" yang selama ini selalu melekat di bangsa tua ini. 

Namun budayanya bahwa refleksi bangsa di bulan Agustus memang jauh lebih masif dan lebih mapan dalam memaknai harapan-harapan bangsa yang belum terwujud. Kini usia 72 tahun telah menghampiri negeri ini. Usia yang sudah matang untuk mendewasakan diri. Sistem demi sistem, era demi era, pemimpin demi pemimpin bahkan penjajahan demi penjajahan telah dilewatinya, sehingga patutlah negeri ini disebut sebagai negeri yang telah ditempa dengan berbagai pengalaman yang sangat luar biasa. Jika negeriku adalah seorang manusia, maka dia pasti adalah orang yang paling hebat didunia ini. Namun inilah negeriku yang begitu rumit dan kompleks dengan ragam permasalahan-permasalahan dapurnya.

Kini "agustus" telah datang menyapa negeriku. Tiba saatnya mempersiapkan berbagai ceremonial untuk menyambut hari kelahirannya, hati ini sangat bahagia dengan kegiatan-kegiatan ceremonial menjelang ulang tahunnya. Euforia penyambutannya sangat terasa dipenjuru nusantara, baik di kota, di pedesaan, maupun di pelosok negeri. Bendera merah putih berkibar disetiap rumah, kemudian kota dan desa terhias oleh pernak pernik merah putih dan umbul-umbul, kegiatan-kegiatan perlombaan selalu meramaikan suasana ulang tahunnya. Euforia masyarakat menyambut hari lahirnya seakan melupakan sejuta permasalahan pelik bangsa ini. Bahagia masyarakat menyambutnya seakan memberikan warna dan semangat baru bagi negeriku. Sejuta harapan dititipkan disetiap memperingati hari lahirnya, karena moment hari jadi adalah moment untuk mengevaluasi diri dari setiap permasalahan yang ada. 

Membaca buku sejarah dan mendengar cerita para guru dan orag tua kita tentang perjuangan para pendahulu bangsa, betapa teguh pendiriannya dan betapa konsistennya demi menjaga harga diri bangsa sehingga kita semua bisa menikmati hidup dengan ragam kebebasan saat ini. Atas perjuangan tersebut tentu konsekuensinya harus terbayar dengan menggapai harapan apa yang menjadi cita-cita para pendahulu kita. Ternyata sampai saat ini harapan mereka masih terasa hampa bahkan tidak tentu arah.

 Setelah saya memperhatikan, ternyata kebahagiaan dan euforia rakyat menyambut hari jadi negeri ini hanya berlangsung ketika bulan Agustus saja. Semangat tersebut tidak berboncengan lagi dengan jiwa para penguasa setelah ceremonial Agustus-an. Menyambut hari jadi negeriku begitu semarak, namun ketika saya menoleh ke belakang dan ke samping, ternyata pelik permasalahan negeriku melampaui batas kewajaran. Saya berpikir, setelah merdeka kita akan hidup nyaman dan damai, namun yang terjadi justru kita terjajah oleh bangsa sendiri, bahkan penjajahan melebihi ganasnya penjajahan jaman pendahulu kita. Dahulu kita terjajah secara fisik, namun saat ini kita terjajah dengan beragam cara, dan bahkan dilakukan oleh orang-orang yang menganggap dirinya negarawan. 

Para pendahulu kita lebih memilih menahan lapar berhari-hari daripada berkompromi dengan penjajah, namun mental kita saat ini sudah menjadi seperti penjajah. "Saya mengambil remot TVku, kemudian menyetel TVku yang tua itu, seketika saya langsung dihadapkan dengan kabar miring negeriku. Tiada hari tanpa korupsi, tiada hari tanpa bencana, tiada hari tanpa berita yang membuat hati ini shok. Hatiku semakin miris ketika para koruptor tersenyum lebar tanpa dosa di depan kamera TV. Inilah "kabar kabari" negeriku. Namun saya sedikit bisa tersenyum ketika channel TV saya pindahkan, karena disana ada Sule, Andre, Narji, Aceng, Idoy, Dadang, Akum, dan kawan --kawan yang menghiburku dan membuatku tersenyum. Untung ada mereka".

Generasi bangsa kini telah terkoptasi modernisasi liberal sehingga kultur barat selalu dijadikan trend dalam berperilaku. "mereka" dengan bangga mempertontonkan diri sebagai generasi modern tanpa identitas. Generasi adalah keniscayaan penyambung pembangunan, namun betapa miris ketika generasi akan bermental liberal bagi bangsa demokratis seperti bangsa ini. Setiap hari senin mereka selalu menyanyikan lagu kebangsaan "Indonesia Raya", hormat kepada "merah putih" dan "mengheningkan cipta" mengenang para pahlawan, namun kegiatan tersebut hanyalah rutinitas ceremonial yang maknanya tidak terbawa dalam kehidupan sosialnya. Sepertinya kultur barat menjadi "primadona" dikalangan generasi saat ini. Contohnya begitu beragam didepan mata kita, bagaimana mereka berbicara, bergaul dan bertindak. Namun harapan untuk kembali ke marwah bangsa tentu masih ada, tinggal bagaimana caranya mendesain ulang esensi sistem bangsa ini, termasuk sistem pendidikan dan sistem-sistem lainnya.

Perjuangan para "veteran" kita sungguh luar biasa, sehingga kita bisa mengenal dengan angka dan kata "17 Agustus" yang merupakan tonggak sejarah bahwa Indonesia akan berlari menuju kebebasannya dari penjajahan dan menuju kemenangan serta pembangunannya. Namun jika "mereka" menyaksikan sembrautnya negeri ini, mungkin mereka akan menangis betapa kita tidak menghargai perjuangan tumpah darah mereka. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun