Momentum Hari Tani tahun ini juga diwarnai pernyataan jujur dari Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar (Cak Imin). Dalam pidatonya, ia menyampaikan permintaan maaf kepada petani karena selama ini partainya belum mampu mewujudkan kesejahteraan yang dijanjikan.
“Saya dan PKB di Hari Tani Nasional ini menyatakan permohonan maaf … Omong kosong menghasilkan kesejahteraan buat petani.”
“Terimalah permohonan maaf PKB di Hari Tani ini … setelah minta maaf, tobat akan memperjuangkan seluruh nasib petani dengan sungguh-sungguh.”
(news.detik.com)
Pernyataan ini penting. Permintaan maaf itu bukan hanya refleksi kegagalan PKB, melainkan juga gambaran kegagalan politik agraria secara umum. Ucapan ini bisa menjadi momentum introspeksi kolektif, bahwa perjuangan petani tidak boleh lagi hanya dijadikan jargon politik.
Optimisme dengan Catatan Kritis
Agenda reforma agraria di era Prabowo tetap menyisakan optimisme. Ada beberapa faktor yang membuat peluang kali ini lebih nyata. Pertama, isu ketahanan pangan kini menjadi prioritas nasional. Redistribusi lahan kepada petani kecil bisa menjadi instrumen penting memperkuat produksi pangan dalam negeri. Kedua, perkembangan teknologi pertanian memungkinkan produktivitas meningkat, asalkan redistribusi tanah diiringi dukungan modal, pendampingan, dan akses pasar. Ketiga, kekuatan politik Presiden Prabowo memberi ruang manuver yang lebih luas dibandingkan presiden-presiden sebelumnya.
Namun optimisme ini tidak boleh meninabobokan. Agenda sebesar ini hanya bisa berhasil jika disertai pengawasan publik yang ketat, transparansi dalam proses redistribusi, serta komitmen kuat memberantas korupsi dan mafia tanah. Tanpa itu semua, janji hanya akan menjadi retorika yang menguap.
Dari Hari Tani Menuju Sejarah Baru
Hari Tani Nasional 2025 seharusnya tidak berhenti pada ritual peringatan tahunan. Ia harus menjadi titik balik bagi agraria Indonesia. Presiden Prabowo memiliki kesempatan historis untuk mencatatkan warisan besar: menjadikan reforma agraria sebagai kenyataan, bukan sekadar janji kampanye.
Reforma agraria bukan hanya pembagian lahan. Lebih dari itu, ia menyentuh keadilan sosial, ketahanan pangan, pembangunan pedesaan, hingga kedaulatan negara. Tanah yang kembali ke tangan petani akan menjadi sumber keadilan ekonomi sekaligus pilar kemandirian bangsa.
Janji Konstitusi yang Menunggu Pembuktian
UUPA 1960 dan Pasal 33 UUD 1945 telah lama menjadi kompas moral pengelolaan sumber daya agraria. Tetapi kompas hanya berguna jika ada tangan yang sungguh-sungguh mengarahkannya. Kini, bola ada di tangan Presiden Prabowo.