Mohon tunggu...
A. HERI FIRDAUS
A. HERI FIRDAUS Mohon Tunggu... aktivis sosial politik, pembina perkumpulan bogor hebat dan yayasan inovasi buatsemua

anak desa yang sempat kuliah di IPB hampir 10 tahun, sekarang beergelut atau aktif di dunia sosial politik.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Belajar dari PATI: 3 Milyar Yang Menyalakan Api Politik

17 Agustus 2025   22:25 Diperbarui: 17 Agustus 2025   22:17 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi suaana protes rakyat pati tentang kenaikan pajak 

Kenaikan pajak sering dianggap hal teknis yang tidak terlalu berisiko. Namun, di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, tambahan Rp3 miliar dalam target Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) justru berubah menjadi isu politik yang mengguncang.

Tahun Anggaran 2025, Pemkab Pati menetapkan APBD sebesar Rp2,94 triliun. Dari jumlah itu, target PBB-P2 naik dari Rp25 miliar menjadi Rp28 miliar. Secara persentase, hanya 12% atau tidak sampai 1% dari total APBD. Kecil sekali jika dilihat dari kacamata birokrasi.

Tapi kenyataannya di lapangan, banyak warga menerima tagihan PBB yang melonjak hingga 250%. Di sinilah cerita menjadi berbeda: pemerintah melihat angka, rakyat merasakan beban. Dan ketika dompet rakyat tersentuh, persoalan fiskal pun berubah menjadi gejolak politik.

Angka Makro vs Realita Mikro

Di ruang rapat pejabat, kenaikan target PBB sebesar 12% terdengar moderat. Mereka melihatnya sebagai langkah wajar untuk menyesuaikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dengan harga pasar, sekaligus strategi menambah Pendapatan Asli Daerah. Angka-angka di tabel APBD tampak rapi, proporsional, dan masuk akal.

Namun di rumah warga, kisah berbeda terjadi. Tagihan pajak yang tiba-tiba melonjak dua kali lipat bahkan lebih membuat banyak orang terperangah. Bagi seorang petani, pedagang kecil, atau pensiunan yang hidup dari tabungan terbatas, kenaikan hingga 250% bukan sekadar angka—melainkan ancaman bagi keseimbangan ekonomi keluarga.

Di sinilah benturan cara pandang terjadi. Pemerintah berbicara dengan bahasa persentase, proyeksi, dan statistik. Sementara warga menimbang dengan ukuran yang jauh lebih sederhana: berapa rupiah yang harus keluar dari dompet, dan apa imbal balik nyata yang bisa mereka rasakan dari kewajiban itu.

Jurang komunikasi ini menegaskan satu hal: apa yang terlihat kecil dalam hitungan makro, bisa terasa besar dan menyakitkan dalam kehidupan mikro. Dan ketika dua realitas ini tak kunjung bertemu, yang lahir bukan hanya kebingungan, melainkan krisis kepercayaan.

Ketika Pajak Menjadi Isu Politik

Pajak memang bukan sekadar urusan fiskal. Ia menyentuh seluruh lapisan masyarakat secara langsung, merata, dan instan. Itulah mengapa pajak sering kali lebih mudah memicu gejolak dibanding kebijakan lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun