Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismilah, Menulis Tentang Korupsi

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Wani Piro, Sebuah Anomali?

13 Januari 2023   13:43 Diperbarui: 13 Januari 2023   13:52 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Wani Piro, Sebuah Anomali?

Foto : Dokumen Pribadi

Komentar Ibu Isti Yogiswandani, pada artikel saya di Kompasiana yang berjudul Menebalkan Nilai Integritas yang menyebut "Sesuatu yg lurus tp langka di jaman serba "wani piro", meluruskan niat saya untuk menulis artikel ini. Ya, kenapa "wani piro" menjadi sesuatu yang "ikonic" ketika berurusan dengan hukum? Seolah, begitu mendalam mind set dan paradigma, bahwa berurusan dengan hukum, identik dengan seberapa kuat kita mengeluarkan uang. Semakin besar uang yang dikeluarkan, sebanding dengan semakin ringan persoalan hukum yang dihadapi. Bila ini masih menjadi sebuah narasi, di tengah upaya pembenahan di bidang penegakan hukum, tentu menjadi sebuah keprihatian, meskipun fakta seperti ini masih saja tersaji di depan mata. Bahkan, terkini, beberapa bulan yang lalu, dua Hakim Agung, sebagai simbol benteng keadilan, ditangkap KPK, seirisan dengan kasus OTT yang ditangani KPK.

Siapa yang disalahkan terkait kondisi seperti ini? Teori yang disampaikan oleh Lawrence Meir Friedman, seorang profesor hukum dari Amerika (wikipidea), menyebutkan bahwa bekerjanya suatu hukum dapat ditentukan oleh struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum.

Menurut saya, konteks "wani piro" dikorelasikan dengan bekerjanya hukum bersinggungan dengan masalah budaya hukum, di mana sebagaimana dikatakan Friedman, terdiri dari nilai-nilai dan sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum. Ia berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara hukum dengan tingkah laku hukum seluruh warga masyarakat.

Apa artinya? Ada dua kemungkinan :

Pertama, masyarakat mempunyai andil  "tersumbatnya" kran hukum yang ideal. Budaya pragmatis, yang ingin semua selesai dalam waktu sesingkat mungkin, walau harus mengeluarkan sejumlah uang, menjadi "sebuah peluang" bagi idealism pengampu struktur hukum. Bahasa mudahnya adalah, karena ada peluang, maka aparat penegak hukum yang culas, yang suka abuse of power, memanfaatkannya untuk kepentingan pribadinya. Hukum ia jual, ia pasang tarif dengan ikonik kalimat "wani piro?"

Kedua, atau sebaliknya, masyarakat yang sebenarnya sangat patuh asas, diberi "iming-iming" oleh oknum culas tadi, akan membantu masalah hukum yang dihadapi, dengan sejumlah kompensasi yang harus ia bayarkan. Jadi, pada kontruksi budaya hukum, bisa pihak masyarakat yang aktif dalam ikonik wani piro, atau sebaliknya masyarakat yang pasif, namun pihak oknum culas yang membuka peluang, untuk pemberian jasa dalam bermain-main dengan hukum?

Ada pembanding, bagaimana budaya hukum dan struktur hukum bila bekerja sama, saling menghormati, tidak saling memanfaatkan hukum dari sisi negative, adalah Singapura. Bagaimana ketaatan publik pada hukum dan rendahnya indeks penyalahgunaan hukum oleh aparatnya, menjadi sebuah das sein (keadaan nyata) dari praktek berjalannya hukum.

Ada sebuah kondisi psikologis, ketika terjerat sebuah perkara hukum, upaya yang dilakukan adalah bagaimana bisa mencari seseorang yang bisa "membantu" menyelesaikan di luar proses hukum. Misalnya dengan menghubungi teman, relasi, kolega atau melalui "makelar-kasus" agar bebas atau minimal bisa diringankan dari masalah. Ini yang menurut Friedman sebagai kondisi kontraproduktif bagi berjalannya hukum sebagaimana harapan bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun