Perlahan Kereta Api Pasar Senen- Surabaya merangkak. Gerbong besi tersebut meninggalkan Stasiun Pasar Senen. Ada beberapa gerbong yang meliuk menyusul rel. Â Aku dan ratusan penumpang lain ada di salah satu gerbang tersebut.Â
Perjalanan Jumat sore tersebut, menjadi salah satu perjalanan terindah sepanjang hidupku. Konon, perjalanan pulang ke rumah adalah perjalanan terindah, meskipun perjalanan kereta tersebut bukan kali pertama bagiku, namun sudah menjadi rutinitas hampir enam tahun belakangan.Â
Perjalananku tidak sampai Surabaya, hanya sekitar 5 jam perjalanan dari StasiunSenen, aku turun di Stasiun Besar Pekalongan. Minggu malam, sebaliknya aku balik ke Jakarta, kembali beraktivitas dalam keriuh rendahan pekerjaan.
Ada lintasan waktu yang selalu aku perhatikan saat perjalanan tersebut. Yaitu geliat orang disekitarku, saat menjelang maghrib tiba. Ada yang antri di "toilet" untuk ambil air wudlu, ada juga yang antri di "kran" yang disediakan dekat dengan bordes antara Gerbang Bisnis dengan Gerbong Restorasi. Antrian mengambil air wudu, juga berimbas pada antrian solat di salah satu sekatan ruang di Gerbong.Â
Kadang ada yang berjamaah, meski dua orang dengan keadaan yang "darurat. ". Keadaan darurat ini juga aku perhatikan beberapa orang lainnya yang setelah ambil air wudlu solat dalam posisi duduk.
Ada juga, yang tetap keliatan tidak perduli. Masih mendengarkan mungkin musik lewat head set, atau ada yang cekikikan tertawa dengan gadget-nya. Ada juga yang tertidur pulas dengan menyandarkan kepala di bahu orang sebelahnya.Â
Satu hal yang paling menarik perhatianku adalah seorang mungkin usia 40-an, menggelar kain dan solat di bordes. Mungkin ia tidak sabar antri di tempat solat yang tersedia.Â
Aku menarik nafas dalam dalam. Ia, lelaku itu berusaha kokoh kakinya, menahan goyangan bordes yang tidak dalam keteraturan. Bahkan sesekali tubuhnya nyaris terhuyung. Ia tetap bertahan dan penuh kekhusyu'an.
Seperti sebuah gambaran dalam kehidupan, yang masing-masing individu mempunyai ragam dan cara ia "berkomunikasi dengan Tuhannya. " Aku bukan dalam posisi menilai mana di antara orang-orang tadi, termasuk pilihanku "untuk menjamak' " sebagai cara yang paling benar.Â
Konteksnya adalah bahwa kesadaran untuk menjalankan apa yang diwajibkan, masih dijalani "tidak semua orang". Hanya orang-orang tertentu, yang "merasa terpanggil" untuk menjalankan kewajiban dengan segala keterbatasan waktu, tempat dan situasi. Ini yang membuatkan tertegun.