Zonasi, nilai, dan sistem online yang bikin pusing. Saya mau cerita kenapa anak saya akhirnya masuk sekolah swasta dan apa yang saya pelajari dari proses ini.
Hari pertama masuk sekolah harusnya penuh rasa syukur. Tapi buat saya, hari itu datang dengan perasaan gagal sebagai orang tua.
Sistem Zonasi Tak Selalu Menguntungkan Warga Sekitar
Rumah saya hanya berjarak 1,3 km dari sekolah negeri favorit di kecamatan. Saya kira itu cukup untuk menjamin anak saya masuk lewat jalur zonasi.Â
Nyatanya, di hari pengumuman, nama anak saya tidak ada dalam daftar.
Kami sekeluarga sempat syok. Bukan karena anak saya tidak berprestasi, rapor bagus, nilai rata-rata di atas KKM,tapi karena sistem zonasi lebih mengutamakan mereka yang hanya selisih beberapa ratus meter lebih dekat.
Saya juga baru tahu kalau jarak yang dihitung bukan dari titik rumah secara real-time, tapi berdasarkan data administratif yang kadang tidak akurat.
Banyak tetangga bahkan menyewa rumah kontrakan dekat sekolah untuk 'mengakali' zonasi. Dan itu legal, selama tercatat di KK.
PPDB Online Membingungkan, Waktu Sempit, Harapan Terbatas
Proses pendaftaran PPDB online tahun ini bukan cuma soal isi data dan upload dokumen.Â
Banyak kendala teknis. Server sering down, petunjuk tidak lengkap, dan waktu pendaftaran begitu singkat.
Saya bolak-balik ke warnet, tanya-tanya ke grup WhatsApp wali murid, bahkan sempat datang langsung ke sekolah negeri. Jawaban dari petugas PPDB kadang berbeda-beda, dan ketika saya akhirnya paham prosedurnya... pendaftaran sudah ditutup.
Semua ini membuat saya merasa tidak kompeten sebagai orang tua.Â
Padahal, saya hanya ingin anak saya belajar di tempat yang wajar, dekat rumah, dan terjangkau secara ekonomi.
Akhirnya ke Sekolah Swasta, Tapi Ada Pelajaran Penting Buat Saya
Setelah gagal di jalur zonasi dan cadangan di sekolah negeri lain pun tak bergerak, kami memilih mendaftarkan anak ke sekolah swasta.