Ribuan siswa berprestasi gagal masuk PTN favorit meski nilai mereka tinggi. Sistem seleksi nasional menyimpan banyak ketimpangan.
Zonasi prestasi dan kuota afirmasi seringkali tidak berpihak pada anak-anak unggulan dari sekolah unggulan.
Sistem Seleksi Nasional dan Kenyataan yang Tidak Semanis Janji
Tahun demi tahun, selalu ada cerita menyedihkan dari siswa yang telah berjuang keras, mendapatkan nilai nyaris sempurna, namun tetap gagal masuk PTN favorit. Tidak sedikit yang menangis, bingung, dan mempertanyakan: apakah nilai saja tidak cukup?
Sistem seleksi nasional seperti SNBP (berbasis prestasi) dan SNBT (berbasis tes) memang dirancang untuk menyaring siswa terbaik dari seluruh Indonesia.Â
Namun realitanya, banyak anak-anak unggul tersingkir karena faktor teknis dan kebijakan yang kurang transparan.
Zonasi Prestasi: Niat Baik yang Masih Banyak Celah
Dalam SNBP, diterapkan sistem zonasi prestasi agar tidak hanya sekolah-sekolah favorit yang mendominasi penerimaan. Artinya, siswa dinilai berdasarkan peringkat di sekolah masing-masing.Â
Kedengarannya adil. Tapi bagaimana jika siswa yang punya nilai 92 kalah dari siswa lain dengan nilai 88 hanya karena sekolah mereka masuk kategori berbeda?
Di sinilah letak persoalan. Banyak siswa dari sekolah unggulan justru dirugikan karena harus bersaing ketat dengan teman sekelas yang sama-sama hebat.Â
Sedangkan di sekolah biasa, siswa dengan nilai sedang bisa lolos karena tidak banyak pesaing. Ketimpangan ini jelas memicu pertanyaan tentang keadilan dalam sistem zonasi prestasi.
Kuota Afirmasi: Solusi yang Perlu Dievaluasi Ulang
Kebijakan kuota afirmasi hadir sebagai bentuk keberpihakan pada kelompok rentan: siswa dari keluarga tidak mampu, daerah 3T, hingga difabel. Tapi dalam praktiknya, masih ada potensi penyalahgunaan.
Beberapa kasus memperlihatkan siswa dari keluarga mampu mengakses jalur afirmasi karena data ekonomi orang tua yang tidak diverifikasi ketat.Â