Mohon tunggu...
David Herdy
David Herdy Mohon Tunggu... Penulis lepas

Penulis lepas yang aktif menulis fiksi dan non fiksi tema ruang publik sebagai bagian dari narasi ingatan kolektif. "Menulis adalah upaya kecil untuk mengabadikan pikiran sebelum ia lenyap. Karena ide tak punya kaki, kecuali kutuliskan."

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Dompet Jebol Demi Gengsi: Bahagia Tak Perlu Pamer!

8 Juni 2025   19:25 Diperbarui: 8 Juni 2025   19:04 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Foto Dok Freepik.com

Teaser

Banyak Gen Z dan milenial terjebak gaya hidup demi pengakuan sosial, hingga rela berutang lewat paylater. Padahal, kebahagiaan tak lahir dari pamer atau validasi orang lain. Jangan biarkan dompet jadi korban demi pencitraan semu di media sosial.


"Aku Belanja Bukan Karena Butuh, Tapi Biar Dianggap Layak"

 "Kita membeli barang yang tidak kita butuhkan, dengan uang yang tidak kita miliki, untuk mengesankan orang yang bahkan tidak peduli." -- Dave Ramsey

Dina, 26 tahun, baru saja mengambil paylater untuk membeli tas branded yang ia tahu takkan ia pakai lebih dari dua kali. Ia sadar, barang itu bukan soal fungsi. Tas itu adalah tiket ke gengsi, ke validasi diam-diam dari teman-teman Instagram-nya. "Biar nggak dikira ketinggalan zaman," katanya sambil tertawa canggung.

Fenomena ini bukan cerita baru. Banyak Gen Z dan milenial menjadikan konsumsi sebagai cara menambal luka eksistensial. Mereka tumbuh dalam ekosistem media sosial yang menuntut pencitraan sempurna: outfit keren, ngopi di kafe estetik, jalan-jalan ke Bali, semua serba instagrammable. Celakanya, banyak dari itu dibiayai dengan utang.

Hook emosionalnya ada di sini: kita tidak sedang membeli barang, kita sedang membeli perasaan diterima. Namun, kebahagiaan yang digantungkan pada pengakuan orang lain itu rapuh, cepat pudar, dan selalu haus lebih. Ini lingkaran setan yang membuat dompet kempes dan hati tetap kosong.

Struktur gaya hidup seperti ini mengubah kebutuhan menjadi gengsi, dan keinginan menjadi tekanan. Semakin banyak kita membandingkan, semakin sulit untuk merasa cukup. Ini bukan cuma soal belanja, ini tentang identitas yang dikonstruksi lewat konsumsi.

 "Gaya Hidup Pamer: Ketika Paylater Jadi Jalan Pintas Menuju Neraka Finansial"

Ilustrasi Foto Dok Freepik.com
Ilustrasi Foto Dok Freepik.com

"Kredit itu bukan musuh. Tapi gengsi adalah jebakan paling mematikan dalam keuangan." -- Anonim Finansial

Menurut survei terbaru dari DSInnovate (2024), 62% pengguna paylater di Indonesia berasal dari kelompok usia 20--35 tahun. Sebagian besar menggunakannya bukan untuk kebutuhan darurat, melainkan untuk konsumsi gaya hidup: fashion, gadget, dan hiburan. Ini mencerminkan pola pikir konsumtif yang dipupuk oleh tekanan sosial dan tren digital.

Media sosial menjadi etalase virtual yang terus menampilkan kehidupan orang lain dalam versi terbaiknya. Kita lupa bahwa feed Instagram adalah highlight, bukan kenyataan. Namun, alih-alih melihatnya sebagai hiburan, banyak orang merasa tertantang untuk ikut tampil, tanpa melihat isi rekening terlebih dahulu.

Di sisi lain, fitur paylater dan cicilan instan memperparah keadaan. Teknologi keuangan ini memberi ilusi bahwa kita mampu membeli sesuatu, padahal kita hanya menunda rasa sakit. Psikolog menyebutnya emotional spending, yaitu kebiasaan belanja untuk meredam stres, cemas, atau rasa rendah diri.

Masalahnya bukan di teknologinya, tapi pada cara kita menggunakannya. Budaya pamer menciptakan standar palsu: bahwa sukses harus terlihat, bahwa hidup bahagia harus dipertontonkan. Akibatnya, banyak yang terjebak utang demi membeli kehidupan yang bahkan bukan milik mereka sendiri.

"Kita hidup dalam masyarakat yang lebih peduli pada tampilan kemewahan daripada kesehatan finansial."

 "Hidup Bahagia Itu Sederhana: Tidak Perlu Pengakuan dari Dompet Orang Lain"


 "Kebahagiaan sejati datang ketika kita berhenti hidup dari ekspektasi orang lain." -- Yasmin Mogahed

Sudah saatnya kita berhenti mengejar validasi yang menguras jiwa dan dompet. Kebahagiaan tidak pernah lahir dari jumlah barang yang kita miliki, apalagi dari label harga. Bahagia hadir dari rasa cukup, dari kesadaran bahwa hidup kita bukan konten untuk dinilai orang lain.

Kita tidak harus menjadi minimalis ekstrem. Tapi kita bisa belajar menimbang ulang apa yang benar-benar penting. Kita bisa bertanya sebelum membeli: "Apakah ini membuat hidupku lebih bermakna, atau hanya membuat orang lain terkesan?"

Pola pikir ini adalah bentuk kebebasan. Kita tidak perlu terjerat utang untuk terlihat berhasil. Kita tidak perlu hidup berdasarkan sorotan kamera orang lain. Hidup yang otentik justru lahir dari keberanian untuk berbeda, untuk tidak ikut-ikutan, dan untuk berkata cukup ketika dunia terus mendorong kita ingin lebih.

Refleksinya sederhana: apakah kamu ingin dikenang sebagai pribadi yang penuh pencitraan, atau seseorang yang hidup dalam kejujuran dan kendali diri? Sebab pada akhirnya, ketenangan batin jauh lebih bernilai daripada likes dan pujian.

Sahabat kompasiana

Berhentilah belanja demi validasi. Mulailah hidup demi ketenangan. Share artikel ini ke temanmu yang butuh diingatkan bahwa bahagia tak harus mahal, dan utang tak layak jadi alat pencitraan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun