Teaser
Banyak Gen Z dan milenial terjebak gaya hidup demi pengakuan sosial, hingga rela berutang lewat paylater. Padahal, kebahagiaan tak lahir dari pamer atau validasi orang lain. Jangan biarkan dompet jadi korban demi pencitraan semu di media sosial.
"Aku Belanja Bukan Karena Butuh, Tapi Biar Dianggap Layak"
 "Kita membeli barang yang tidak kita butuhkan, dengan uang yang tidak kita miliki, untuk mengesankan orang yang bahkan tidak peduli." -- Dave Ramsey
Dina, 26 tahun, baru saja mengambil paylater untuk membeli tas branded yang ia tahu takkan ia pakai lebih dari dua kali. Ia sadar, barang itu bukan soal fungsi. Tas itu adalah tiket ke gengsi, ke validasi diam-diam dari teman-teman Instagram-nya. "Biar nggak dikira ketinggalan zaman," katanya sambil tertawa canggung.
Fenomena ini bukan cerita baru. Banyak Gen Z dan milenial menjadikan konsumsi sebagai cara menambal luka eksistensial. Mereka tumbuh dalam ekosistem media sosial yang menuntut pencitraan sempurna: outfit keren, ngopi di kafe estetik, jalan-jalan ke Bali, semua serba instagrammable. Celakanya, banyak dari itu dibiayai dengan utang.
Hook emosionalnya ada di sini: kita tidak sedang membeli barang, kita sedang membeli perasaan diterima. Namun, kebahagiaan yang digantungkan pada pengakuan orang lain itu rapuh, cepat pudar, dan selalu haus lebih. Ini lingkaran setan yang membuat dompet kempes dan hati tetap kosong.
Struktur gaya hidup seperti ini mengubah kebutuhan menjadi gengsi, dan keinginan menjadi tekanan. Semakin banyak kita membandingkan, semakin sulit untuk merasa cukup. Ini bukan cuma soal belanja, ini tentang identitas yang dikonstruksi lewat konsumsi.
 "Gaya Hidup Pamer: Ketika Paylater Jadi Jalan Pintas Menuju Neraka Finansial"
"Kredit itu bukan musuh. Tapi gengsi adalah jebakan paling mematikan dalam keuangan." -- Anonim Finansial
Menurut survei terbaru dari DSInnovate (2024), 62% pengguna paylater di Indonesia berasal dari kelompok usia 20--35 tahun. Sebagian besar menggunakannya bukan untuk kebutuhan darurat, melainkan untuk konsumsi gaya hidup: fashion, gadget, dan hiburan. Ini mencerminkan pola pikir konsumtif yang dipupuk oleh tekanan sosial dan tren digital.
Media sosial menjadi etalase virtual yang terus menampilkan kehidupan orang lain dalam versi terbaiknya. Kita lupa bahwa feed Instagram adalah highlight, bukan kenyataan. Namun, alih-alih melihatnya sebagai hiburan, banyak orang merasa tertantang untuk ikut tampil, tanpa melihat isi rekening terlebih dahulu.
Di sisi lain, fitur paylater dan cicilan instan memperparah keadaan. Teknologi keuangan ini memberi ilusi bahwa kita mampu membeli sesuatu, padahal kita hanya menunda rasa sakit. Psikolog menyebutnya emotional spending, yaitu kebiasaan belanja untuk meredam stres, cemas, atau rasa rendah diri.
Masalahnya bukan di teknologinya, tapi pada cara kita menggunakannya. Budaya pamer menciptakan standar palsu: bahwa sukses harus terlihat, bahwa hidup bahagia harus dipertontonkan. Akibatnya, banyak yang terjebak utang demi membeli kehidupan yang bahkan bukan milik mereka sendiri.
"Kita hidup dalam masyarakat yang lebih peduli pada tampilan kemewahan daripada kesehatan finansial."
 "Hidup Bahagia Itu Sederhana: Tidak Perlu Pengakuan dari Dompet Orang Lain"
 "Kebahagiaan sejati datang ketika kita berhenti hidup dari ekspektasi orang lain." -- Yasmin Mogahed
Sudah saatnya kita berhenti mengejar validasi yang menguras jiwa dan dompet. Kebahagiaan tidak pernah lahir dari jumlah barang yang kita miliki, apalagi dari label harga. Bahagia hadir dari rasa cukup, dari kesadaran bahwa hidup kita bukan konten untuk dinilai orang lain.