“Apresiasi bukanlah akhir dari usaha, melainkan awal dari semangat baru yang tumbuh.”
Penjurusan Tak Lagi Soal Nilai, Tapi Siapa Kamu Sebenarnya
SMA bagi sebagian besar siswa adalah pintu masuk ke masa depan. Di sinilah mereka mulai mengenal istilah penjurusan: IPA, IPS, atau Bahasa. Tapi, di balik angka dan raport, ada sesuatu yang jauh lebih penting: bagaimana siswa merasa dihargai dan diapresiasi dalam proses memilih jurusan. Penjurusan bukan sekadar soal ranking atau nilai ujian. Ia adalah cermin dari karakter, minat, dan semangat yang dibentuk sejak lama, termasuk dari hal-hal sederhana seperti penghargaan di kelas atau keberanian tampil di depan umum.
Ketika siswa merasa diapresiasi—entah lewat lomba kelas, pujian dari guru, atau tampil di acara sekolah—rasa percaya diri mereka tumbuh. Karakter pun mulai terbentuk. Mereka mulai berani bicara, menyampaikan pendapat, hingga memutuskan sendiri jalan pendidikan yang ingin mereka tempuh. Maka, ketika tiba saat penjurusan di SMA, mereka tak hanya mengandalkan angka. Mereka sudah punya dasar karakter dan kreativitas untuk menentukan arah hidupnya.
Mengubah cara kita memandang penjurusan. Bukan sebagai seleksi nilai, tapi penemuan jati diri.
“Anak yang merasa dihargai akan tumbuh menjadi pribadi yang tahu apa yang ia mau.”
Apresiasi Adalah Energi yang Tak Terlihat, Tapi Terasa
“Satu panggung kecil bisa mengubah rasa takut jadi keberanian.”
Di SMP Negeri 1 Amlapura, Bali, siswa diberi panggung. Bukan panggung megah, tapi cukup untuk membuat mereka merasa layak untuk bersuara. Lewat lomba perkelas, senam SAIH sebelum belajar, dan apresiasi kecil seperti sertifikat atau tampil di hari upacara, mereka didorong untuk menjadi versi terbaik dirinya. Hal serupa juga dilakukan di SMAN 4 Pekalongan. Guru PJOK, Ibu Alfa, tak hanya mengajarkan teknik senam. Ia menyisipkan diskusi makna gerakan, membangun empati, kerja sama, dan komitmen.
Dalam konteks penjurusan, inilah pondasi penting. Siswa yang terbiasa menerima apresiasi akan mengenal kelebihan dan kekurangannya lebih dini. Ia jadi tahu apakah dirinya cocok di jurusan IPA karena suka eksperimen, atau di jurusan IPS karena suka berdiskusi dan menganalisis isu sosial. Mereka tak takut memilih karena tahu bahwa pilihan itu bukanlah jebakan, melainkan jalan yang bisa mereka bangun sendiri.
Membangun budaya apresiasi di sekolah sejak dini. Itu investasi terbaik bagi masa depan siswa saat memilih jurusan di SMA.
“Apresiasi membentuk keberanian untuk memilih, bukan hanya mengikuti.”
Kolaborasi Orang Tua dan Guru: Kunci Anak Menemukan Jalan
“Butuh satu sekolah untuk mengajar, tapi butuh satu ekosistem untuk membentuk karakter.”
Kisah dari TK Kemala Bhayangkari 9 Purwokerto membuktikan bahwa kreativitas dan semangat literasi tak lahir sendiri. Mereka dibangun dari kolaborasi erat antara sekolah dan orang tua. Saat anak kesulitan menghafal gerakan senam, guru tak langsung memaksa. Mereka justru mengajak orang tua menyemangati anak lewat video lomba di rumah. Anak jadi merasa didukung, bukan ditekan.
Bayangkan jika pendekatan seperti ini terus dibawa hingga jenjang SMA. Proses penjurusan akan jauh lebih manusiawi. Anak tak akan terbebani oleh ambisi orang tua semata. Sebaliknya, mereka akan dipandu oleh kepercayaan diri dan pemahaman akan dirinya sendiri—hasil dari perjalanan panjang yang dipenuhi apresiasi dan dukungan.
Mewujudkan ekosistem pendidikan yang mengapresiasi, bukan menghakimi. Itu cara paling sehat mendampingi siswa dalam proses penjurusan.
“Ketika anak merasa didengar, ia berani menunjukkan siapa dirinya sebenarnya.”
Refleksi koletif : Penjurusan Itu Perkara Karakter, Bukan Sekadar Angka
“Sekolah seharusnya bukan hanya tempat menilai, tapi juga tempat memaknai.”