Kita sering membaca nama-nama besar laki-laki dalam buku sejarah: Ramses, Hammurabi, hingga Gilgamesh. Tapi, di mana suara perempuan dalam kisah besar peradaban awal itu?
Di balik kuil megah Mesir dan prasasti Mesopotamia, ada perempuan-perempuan tangguh yang tak sekadar melahirkan generasi, tapi juga memimpin, mengatur, bahkan memengaruhi kebijakan keagamaan dan politik. Sayangnya, nama mereka jarang disebut, apalagi diabadikan. Mereka tetap menjadi "pemeran pembantu" dalam panggung sejarah dunia yang maskulin.
Perempuan Mesir dan Mesopotamia---Lebih dari Sekadar Pendamping Raja
Dalam budaya Mesir kuno, perempuan seperti Hatshepsut bahkan menjadi Firaun dan memerintah dengan kebijakan besar dalam pembangunan dan perdagangan. Ia tak kalah dari Firaun laki-laki, namun kisahnya lama dikaburkan, bahkan sengaja dihapus oleh penerusnya.
Di Mesopotamia, sistem hukum Hammurabi menyebut perempuan dalam konteks hukum warisan, perdagangan, bahkan hak atas kepemilikan. Sayangnya, narasi popular masih menggambarkan perempuan sebagai pelengkap, bukan pelaku sejarah. Padahal, menurut riset dari Ancient History Encyclopedia, perempuan di Sumeria bisa menjadi imam, pedagang, dan bahkan ahli hukum (ancient.eu).
Kurangnya Dokumentasi Bukan Berarti Tak Ada Peran
Alasan klasik yang sering diulang adalah minimnya dokumentasi sejarah mengenai perempuan. Namun, pertanyaannya: apakah memang tak ada, atau sengaja diabaikan?
Patriarki bukan hanya struktur sosial, tapi juga struktur memori. Sejarah ditulis oleh yang berkuasa, dan dalam banyak peradaban kuno, penulis sejarahnya adalah laki-laki. Hal ini mengakibatkan bias besar dalam narasi sejarah. Dalam penelitian oleh Margaret Ehrenberg dalam Women in Prehistory, ditemukan banyak artefak dan petunjuk arkeologis yang menunjukkan bahwa perempuan memainkan peran penting dalam masyarakat pemburu-pengumpul dan masyarakat agraris awal.
Sejarah Perlu Ditulis Ulang dari Sudut Pandang Perempuan
Sudah saatnya kita menulis ulang sejarah, bukan menghapus yang lama, tapi menambahkan yang selama ini disembunyikan. Pendidikan sejarah yang lebih adil gender akan membuka mata generasi baru bahwa peradaban tidak dibangun oleh satu jenis kelamin saja.
Langkah ini bukan hanya penting untuk keadilan historis, tapi juga untuk inspirasi masa depan. Anak-anak perempuan perlu tahu bahwa mereka bukan sekadar "pendukung" dalam sejarah manusia. Mereka adalah bagian dari fondasi peradaban itu sendiri
Jika sejarah adalah cermin masa lalu, maka kita harus mulai membersihkannya dari kabut bias gender, agar semua wajah---termasuk wajah perempuan---bisa terlihat jelas dan layak dikenang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI