Mohon tunggu...
Marhento Wintolo
Marhento Wintolo Mohon Tunggu... Dosen - Praktisi Ayur Hyipnoterapi dan Ananda Divya Ausadh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Praktisi Ayur Hypnotherapy dan Neo Zen Reiki. Menulis adalah upaya untuk mengingatkan diri sendiri. Bila ada yang merasakan manfaatnya, itupun karena dirinya sendiri.....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

We are Being Hypnotized...

4 Januari 2022   09:12 Diperbarui: 4 Januari 2022   09:20 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saat kita menonton TV acara Uya memang kuya atau acara tentang hipnotis oleh Rommy Rafael, kita bisa tertawa cekikikan. Koq bisa ya di begitukan? Kita bisa tertawa karena kita tidak bisa melihat diri kita sendiri. Seandainya kita di panggung sandiwara dan memang demikian adanya sebagaimana yang dikatakan oleh Ahmad Albar, Dunia ini panggung sandiwara, betapa lucunya.

Kita melihat mereka yang dihipnotis mau begitu menurut kepada penghinoptisnya. Mengapa? Karena mereka bersedia untuk dihipnotis. Bersedia menyerahkan remote control atau kendali dirinya sehingga begitu manut dan terus terang mengatakan apa yang ada dalam dirinya atau sangat patuh menjalankan perintah si penghipnotis. Mereka telah menyerahkan kendali pikiran atau remote control nya kepada si penghipnotis. Demikian juga dengan diri kita.

Secara tidak disadari kita ini sudah menyerahkan remote control kita kepada masyarakat sekitar kita. Sehingga kita belum hidup atas kemauan sendiri. Rasakan saja sendiri..... Saat kita mau bergaul dengan seseorang kita mesti berpakaian yang bagaimana sehingga orang tersebut senang. Atau saat bertetangga kita beli motor atau TV model baru, kita terhipnotis kepingin juga. Jika keuangan kita tidak memadai, berani kredit. Padahal gaji sudah habis untuk membayar cicilan rumah atau motor. Inilah hipnotis massal.

Kita telah menyerahkan diri kita kepada life style masyarakat. Kita tidak bisa memilah antara kebutuhan dan keinginan. Kita tunduk pada keinginan kita untuk pamer. Luar biasa daya hipnotis masyarakat. Seandainya anda bisa menarik diri, dan melihat apa yang anda lakukan, saya jamin anda akan tertawa terbahak-bahak seperti saat anda menonton mereka yang di bawah kendali hipnotis Rommy Rafael. 

Saat kesediaan untuk maju ke depan, berarti mereka yang bersedia hadir ke depan sebagai model sudah menyerahkan mindset nya untuk dihipnotis. Dan menurut para pakar hipnotis, mereka yang bisa dihipnotis adalah mereka yang bersedia dan mau dihipnotis. Demikian juga saat Uya Kuya melakukan hipnotis, dia akan selalu bertanya, mau dihipnotis? Jika mau, saat itu remote control mindset sudah kita berikan.

Rasa sedih atau senang sesungguhnya kita yang menguasai. Tiada seorangpun bisa membuat sedih kita selama kita tidak mau. Mungkin ada yang bertanya koq bisa?. Pikir saja, sering kita menangis saat ditinggal oleh orang tua atau istri. Coba pikirkan, siapa yang kita tangisi? Diri sendiri atau yang sudah meninggal? Yang sudah meninggal ditangisi? Apakah dia bisa meraaskan kesedihan? Bagaimana mungkin orang sudah meninggal merasakan kesedihan. Kasihan dia yang sudah meninggal!!!  Memang siapa diri kita bisa membantu dirinya. Apa yang bisa dilakukan adalah sebatas urusan badan. Dalam hatinya? Siapa yang bisa membantu kecuali dirinya.

Sesungguhnya kita menangisi diri sendiri. Saat ditinggal istri atau suami, kita menangis. Kita menangis karena nanti setelah kepergian suami atau istri tiada lagi yang bisa membantu kita. Tiada tempat untuk bicara atau curhat. Berarti benar bahwa yang kita tangisi adalah diri sendiri. Yang meninggal, ya tetap  melanjutkan perjalanan sendiri dan mempertanggung jawabkan segala perbuatannya. Kita yang ditinggal sesungguhnya merasakan kesendiririan sehingga menangis. Bukan menangisi yang meninggal!!!  Sering juga menangis biar kelihatan sedih, inilah saat kita menyerahkan remote control kepada masyarakat. Biar kelihatan afdol, menangislah kita.

Pengalaman pribadi. Saat saya mengawinkan anak saya. Anak saya seorang perempuan. Jadi menjadi kebiasaan atau tradisi jika anaknya perempuan, maka harus menjadi tempat untuk pernikahan dengan segala pestanya. Tahu sendiri bahwa pesta pernikahan tidak murah. Akhirnya saya berunding dengan istri dan anak. Mau diramaikan atau sederhana saja. 

Kalau diramaikan biaya tidak punya dan mesti cari pinjaman. Akhirnya sepakat, tidak usah diramaikan tapi biaya yang sedianya digunakan untuk pesta pernikahan tetap diberikan untuk tambahan uang muka beli rumah. Gengsi??? Bukan urusan bagi saya, biarkan saja orang lain omong tentang saya, punya anak perempuan koq tidak dibuatkan pesta pernikahan yang meriah.

Tiada orang lain yang merasakan saat penagih hutang datang ke saya untuk mengembalikan uang yang saya pinjam. Saya sendiri yang mesti menanggung. Malu? Untuk apa malu. Bukankah saya menikahkan anak saya sendiri, tiada sedikitpun mereka rugi jika saya mengawinkan secara sederhana. Cukup ijab kabul dan makan bersama saudara-saudara. Yang penting sah nya.

Saya tidak mau menyerahkan remote control gengsi kepada orang lain. Sekarang,.... mereka sudah tinggal di rumah sendiri. Paling jika diramaikan, yang ada paling foto kenang-kenangan. Saat sekarang bisa direkayasa di studio......

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun