Dua tahun sudah berlalu setelah tragedi meletusnya Krakatau. Kiai Furqon berada di Pulau Sangiang memasuki Empat Purnama. Kiai kharismatik ini sengaja mengungsi ke pulau sepi yang berada sebelah Barat Laut dari Padepokan Bayusuci, Anyer Kidul.
Pulau Sangiang ini sangat terpencil yang letaknya berada di tengah-tengah Selat Sunda, tepatnya sebelah Timur Laut dari arah Gunung Krakatau.
Di pulau ini hutannya masih lebat sehingga di sana kehidupan binatang-binatang sangat bebas, sama sekali tidak terganggu dari tangan-tangan jahat manusia.
Lutung, landak, biawak, dan berbagai macam ular berbisa terutama ular kobra, hidup dengan damai di hutan Pulau Sangiang. Namun di sana tidak ditemukan harimau atau sejenisnya seperti singa dan macan tutul.
Kiai Furqon mencapai pulau itu menggunakan sebuah rakit bambu atau perahu kayu. Tapi kadang kala Kiai Sakti ini juga kepergok oleh murid-murid Padepokan Bayusuci menuju pulau itu dengan menerapkan ilmu kanuragan yang dimilikinya yaitu berlari di atas air.
Sebuah ilmu dari padepokan tersebut, meringankan tubuh dengan tingkat sempurna. Belum ada di antara murid-murid Kiai Furqon yang sanggup mempelajari ilmu tersebut, termasuk Bayu Gandana.
Bagi Kiai Furqon pulau Sangiang adalah tempat yang sepi untuk melakukan perenungan diri dan berdzikir. Sosok Kiai pemilik padepokan Bayusuci ini sangat religius dalam menerapkan ilmu-ilmu kanuragan kepada murid-muridnya.
Beberapa murid pilihan seringkali dibawa oleh Kiai Furqon untuk melakukan perenungan diri di pulau Sangiang salah satunya adalah Bayu Gandana.
Di sana terdapat dua gua yang letaknya di sebelah Timur pulau yaitu Gua Kelelawar dan Gua Tungku. Pada salah satu gua tersebut, Kiai Furqon biasanya melakukan aktivitas ibadah dzikir dan mengamalkan ilmu-ilmu dengan bacaan Alquran di salah satu gua tersebut.
Seperti yang terjadi pada malam itu. Sang Kiai sedang khusyu bertafakur, tetiba bekelebat sebuah sinar yang merapat di ruang pikirannya.