Aku saat ini seakan disandera oleh dua wanita yang sama-sama cantik dan berbudi. Hanya ada satu ketegasan sebagai penentu pilihan. Bukankah wanita sangat menyukai ketegasan? Tunggu aku datang  melamarmu.Â
Sinar Matahari senja menyelinap di antara kisi-kisi jendela ruang kerjaku. Seorang wanita cantik masih terisak di ruangan itu. Terlihat punggungnya berguncang menahan isaknya. Sementara aku yang ada persis di depannya hanya terdiam membisu.
Sore itu Listya merasa mendapatkan rasa lega karena sudah mencurahkan seluruh isi hatinya kepadaku. Semua yang pernah diceritakan Listya kepada Kinanti waktu itu, kini diceritakan pula kepadaku.
Walaupun sebagian cerita itu aku sudah tahu, namun aku dengan sabar mendengarkan semua curahan hati Listya sampai tuntas.
Aku sempat kaget karena Listya menceritakan masalah rumah tangganya begitu saja seolah aku ini adalah orang terdekatnya.
"Pak, maafkan saya. Mungkin Bapak tidak berkenan mendengar cerita saya. Namun sudah lama ingin bercerita tentang ini," kata Listya.
"Iya terimakasih Listya. Mempercayai saya untuk mendengar cerita yang sangat privasi sekali," kataku hati-hati.
"Percaya Bapak bisa memegang amanat ini. Tadi malam saya juga telpon Bu Kinan di Bandung hanya untuk mengurangi beban ini. Hanya Pak Alan dan Bu Kinan yang membuat saya menjadi tenang," suara Listya diantara isaknya.
Aku terdiam, aku terharu mendengar pengakuan Listya. Aku tertegun seolah tidak percaya bahwa wanita di depanku ini adalah Daisy Listya.