Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan dan sejak 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer

Kakek yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Lamaran

18 September 2020   16:56 Diperbarui: 22 September 2020   03:21 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Foto Kompas.com/Dendi Ramdhani

"Kinan, memang masa-masa SMA adalah saat paling indah untuk dikenang," kataku perlahan.

"Dan kau pasti mengatakan bahwa Kinanti Puspitasarti, satu-satunya gadis waktu itu yang berani menolak cintamu." Suara Kinanti kembali sendu.

"Oh bukan itu yang harus ku kenang. Tapi masa persahabatan kita yang penuh dengan ketulusan," kataku. Kulihat Kinanti sudah kembali tersenyum.

"Alan, memang kamu adalah sahabat sejatiku."

Kinanti tersenyum dengan sisa tetes air mata di pipinya. Wajah cantik Kinanti tetap memancarkan aura.

Andai saja aku seorang pelukis, maka kulukis wajah cantik itu menjadi karya seni bernilai tinggi.

Saking kagumnya aku memandang wajah cantik Kinanti sehingga tanpa sadar aku berkata: "Kinan kalau lagi menangis malah tambah cantik!"

"Nah mulai playboy nya kumat!"

Kinanti menegurku sedikit marah tapi aku lihat ada rona merah dipipinya. Tampak wanita itu senang dengan pujianku yang jujur.

"Aku kan boleh mengagumi kecantikan sahabatnya," kataku tambah menggoda.

"Sudah Alan! Jangan ngaco terus." Kata Kinanti menggerutu. Aku hanya tertawa melihat Kinanti yang salah tingkah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun