Gambaran langit merah sore itu betul-betul sulit hilang dalam ingatan bocah cilik yang mendekam di kereta kuda. Tak sempat ia mengucap sepatah kata untuk bapaknya yang lebih dulu berpulang. Hatinya terus bertanya apa sebab kampung lahirnya dibombardir meriam hitam dan senapan 12,5.
Bukan. Bukan juga tawanan. Para kumpeni itu memperlakukannya sangat manusiawi, apa pun mereka berikan dan tak satu di antaranya bersuara tinggi. Bermilyar-milyar tanya menghujam hati, perlahan sunyi seperti suara hentakan kaki kuda yang hilang bersama gelapnya malam.
***
“Ayo Margaret, katakan. Apa artinya itu?” ujar Paduka Raja mendesak. Jelas sekali ia tampak gelisah. Mimpinya tempo itu sangat menganggu.
“Tak bisa Paduka, sungguh tak bisa.” Balas Margaret.
“Apa pun kulakukan. Aku tak peduli lagi perjanjian damai itu,” ujar Paduka Raja penuh yakin.
“Ta-tapi Paduka,” Margaret tergagap.
“Perlukah aku mengulang Margaret!” balas Paduka Raja dengan tatapan tajam.
“Jika itu sudah menjadi keinginan Paduka, baiklah.” Ujar Margaret menyerah pasrah.
“Hmmm.” Lirih suara Paduka Raja terdengar.
“Kendi dan Ki Said harus terpisah, dan anak itu baik-baiklah padanya.” Jawab Margaret penuh tenang.