Awal bekerja di Jakarta saya tinggal menumpang di rumah salah satu adik kandung ayah yang tinggal di Depok. Setiap pagi saat berangkat kerja saya menumpang mobil om yang berkantor di Jalan Medan Merdeka.Â
Pulang kerja, saya menumpang bus umum dari kawasan Harmoni sampai ke Depok. Saya harus bertukar kendaraan di terminal Kampung Rambutan, kemudian naik angkot, dan naik ojek sampai depan rumah.
Karena lokasi yang jauh dan kemacetan di Jakarta, biasanya saya tiba di rumah om sekitar pukul sembilan malam. Pada waktu-waktu tertentu saat kesibukan di kantor lebih dari biasanya saya tiba di rumah lebih larut lagi.
Suatu hari, entah kenapa, saya naik bus yang salah. Saat itu saya baru sekitar 2 minggu memulai pekerjaan di ibukota. Masih belum akrab dan hafal jalanan dan berbagai rute kendaraan umum.Â
Tiba di terminal bus, saya melihat suasana terminal yang berbeda. Ini bukan terminal Kampung Rambutan. Tertidurkah saya selama di perjalanan? Tidak sama sekali. Saya paling menghindari tertidur di dalam bus. Mungkin saya melamun.
Lalu, saya bertanya pada pria yang duduk di samping saya. Ternyata saya menaiki bus jurusan Cililitan. Pria itu bertanya ke mana tujuan saya. Mungkin dia melihat wajah saya yang kebingungan dan panik.
"Kamu bisa naik bus lain menuju Kampung Rambutan. Ayo, saya antar!" Ujarnya, sembari memberi tanda untuk mengikutinya.
Pria yang sepertinya seumuran dengan saya bukan menunjukkan bus nomor berapa yang harus saya naiki, tetapi dia ikut naik dan mengantar saya sampai Kp. Rambutan.
"Ini sudah malam, kasian kamu sendirian." Â Begitu pria itu berkata.Â
Dari terminal Kampung Rambutan saya melanjutkan perjalanan seperti biasa dan tiba di rumah om dengan selamat, meskipun sudah hampir menjelang pukul 10 malam.