Mohon tunggu...
Hennie Engglina
Hennie Engglina Mohon Tunggu... Freelancer - Pelajar Hidup

HEP

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Saya Tidak Punya Anak, Apakah Jadi Tidak Bahagia?

5 Desember 2019   06:00 Diperbarui: 7 Desember 2019   16:05 1269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Dave Anderson/Metro.co.uk)

Seorang Ibu berkata kepada saya, "Bu, siapa yang mengurus Ibu kelak di masa tua? Beda loh, Bu, kalau ada anak." Pernyataan itu disampaikannya kira-kira tahun 2008 atau 2009. Saya lupa persisnya.

Ketika itu saya hanya bisa menjawab, "Puji Tuhan, ibu saja begitu peduli terhadap hari tua saya, apalagi Tuhan. Jika Ia tidak mengaruniakan anak, Ia tahu apa yang Ia akan kerjakan bagi saya di masa tua saya nanti."

Anak adalah salah satu jenis kebahagiaan yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia.

Lalu, apakah karena saya tidak punya anak, maka saya tidak bahagia atau tidak lebih bahagia daripada yang memiliki anak? Dan, apakah karena Tuhan tidak mengaruniakan anak, itu pertanda Tuhan tidak sayang kepada saya atau Ia tidak ingin saya bahagia?

Jika kebahagiaan itu dipandang dari sudut pandang pikiran manusia, maka pastilah ada kesedihan bahkan kekecewaan, sebab pandangan manusia tentang tidak memiliki anak umumnya negatif.

Satu-satunya sudut pandang yang bisa membuat kita bersyukur atas segala kenyataan di hidup kita adalah perspektif agama, yakni memandang dari sudut pandang pikiran Allah, yakni dari perkataan-perkataan-Nya di dalam Kitab Suci.

Belajar memandang dari sudut pandang pikiran Allah berarti memberi tempat yang selayaknya kepada Allah untuk mengatur hidup kita sesuai yang Ia inginkan.

Tuhan tidak pernah salah menetapkan suatu keputusan untuk hidup kita. Tidak ada satu pun keputusan-Nya yang asal-asalan. Ada pertimbangan. Ada maksud. Ada tujuan. Ada alasan. Sekali lagi, Tuhan punya alasan.

Dalam semuanya itu, Ia tidak bermaksud jahat. Kitalah yang terbatas dalam mengerti semua yang terjadi dan semua kenyataan yang kita alami di hidup ini. Namun, satu yang pasti, apa yang Tuhan buat adalah baik adanya. 

Orang yang memandang dari sudut pandang pikiran Allah (firman Allah) akan diarahkan pada titik pandang yang positif. Ada kerangka berpikir positif yang terbentuk di situ.

Firman Tuhan itulah yang memberi kekuatan dan semangat yang memampukan kita menjalani kenyataan hidup sepahit apa pun itu.

Apalagi hal anak yang notabene adalah karunia Allah semata. Tidak sedikit pasangan sudah melakukan segala cara untuk beroleh anak, tetapi hasilnya nihil. Ada yang akhirnya dapat ikhlas, tetapi ada pula yang menolak hingga memilih perpisahan.

Memang, dalam hal ini perlu kesetaraan tingkat pandangan dari perspektif yang sama. Suami-istri harus sama-sama bertumbuh dalam memandang dari pikiran Allah (firman-Nya).

Kepincangan rohani menimbulkan pandangan yang pincang pula. Salah satu menerima dengan ikhlas karena memandang kepada Allah, yang lainnya mungkin belum mencapai pemahaman itu. Di situ mulai timbul konflik.

Perspektif manusia tentang ketiadaan anak begitu kompleks. Memandang ketiadaan anak dari sudut pandang apa kata orang atau apa kata dunia, makin membuat ketiadaan anak seolah adalah malapetaka.

Melihat keluarga lain yang memiliki anak, mendengar apa kata orang tentang ketiadaan anak dalam rumah tangga, termasuk pikiran tentang harta warisan terkadang juga ada dalam prinsip harus ada anak, dan lain sebagainya.

Lebih parah lagi, bila tuntutan ada anak melibatkan keluarga besar kedua belah pihak. Belum lagi masalah tradisi di dalam keluarga terkait budaya atau mungkin juga kepercayaan tertentu. Semua itu membuat hal ketiadaan anak kerap menjadi masalah yang super serius.

Akhirnya, bukan tidak ada anak yang membuat tidak bahagia melainkan semua tuntutan itulah yang membuat tidak bahagia. Ekspektasi yang besar dan rongrongan tuntutan menjadi tekanan yang amat berat.

Entah kita sadari atau tidak, bukan Tuhan yang merumitkan hidup kita, kitalah yang membuat hidup yang dianugerahkan-Nya menjadi rumit oleh karena perspektif manusia dan dunia.

Tanpa sadar, kita menempatkan Tuhan sebagai yang salah. Benarnya harus ada anak. Sementara anak adalah karunia-Nya semata. Jadi, bila tidak ada anak, Tuhanlah yang salah. Karena salah Tuhan, maka masalah timbul di antara manusia. Seperti itukah?

Jikalau kita memandang kenyataan hidup hanya dari perspektif manusia dan dunia semata, maka tidak ada hati yang sanggup bersyukur di dunia ini. Hidup akan dipenuhi keluhan. Mengapa begini, mengapa begitu. Harusnya begini, harusnya begitu.

Hanya dengan memercayai hati Allah, bahwa Allah itu sayang kepada umat-Nya, dan bahwa pemikiran-pemikiran-Nya yang berlaku di hidup kita adalah baik adanya akan membuat kita dapat mensyukuri kenyataan apa pun itu sebagai suatu proses Tuhan untuk membentuk kita menjadi pribadi yang berkenan kepada-Nya dan untuk membawa kita kepada kebahagiaan yang sesungguhnya.

Hidup kita tidak sepotong-sepotong. Hidup kita ini satu paket, yakni dari lahir hingga mati. Paket kebahagiaan dari Allah itu ada dalam keseluruhan hidup kita.

Hanya sayangnya, kita kerap melihat secara sepotong-sepotong dan parahnya yang paling kita lihat dan cermati adalah yang negatif, buruk, tidak baik, tidak sesuai harapan, dan sebagainya, termasuk hal ketiadaan anak.

Seolah-olah hanya itulah satu-satunya kebahagiaan sehingga tanpa itu seolah Ia tidak memberikan kebahagiaan apa pun lainnya kepada kita. Seolah-olah hanya itulah yang baik. Tanpa itu, semua seolah tidak ada yang baik.

Tidakkah kita menyadari, bahwa seluruh hidup kita di dunia ini adalah ujian iman, kasih, dan pengharapan kita? Kaya itu ujian. Miskin itu ujian. Sehat itu ujian. Sakit itu ujian. Senang itu ujian. Susah itu ujian. Termasuk, ada anak itu ujian dan tidak ada anak pun ujian.

Seperti apa kita dalam semua itu, itulah yang hendak Ia lihat pada diri kita. Seperti apa kita pada saat Ia memberikan kekayaan, seperti apa kita yang direlakan-Nya miskin, seperti apa kita dalam sakit, seperti apa kita dengan sehat yang Ia berikan, dan lainnya.

Termasuk, seperti apa kita dengan karunia anak yang diberikan-Nya dan seperti apa kita yang Ia tidak berikan anak. Mengeluhkah? Bersyukurkah?

Perhatikan doa Raja Salomo ini:

"Dua hal aku mohon kepada-Mu, jangan itu Kautolak sebelum aku mati, yakni: jauhkanlah dari padaku kecurangan dan kebohongan, jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku. Supaya, kalau aku kenyang, aku tidak menyangkal-Mu dan berkata: siapa TUHAN itu? Atau, kalau aku miskin, aku mencuri, dan mencemarkan nama Allahku." (Amsal 30:7-9)

Dalam kenyang maupun dalam lapar di situ ada ujian. Demikian halnya, memiliki anak atau tidak memiliki anak, pada kedua hal itu masing-masing punya ujiannya. 

Menikmati semua kenyataan yang Ia izinkan menjadi bagian di hidup kita dengan memandang kepada-Nya, bahwa kebaikan-Nya tidaklah sepotong-sepotong di hidup kita melainkan melingkupi kehidupan kita seutuhnya.

Malah terkadang, mujizat itu terjadi pada saat hati kita telah ikhlas. Mungkin saja Tuhan sedang menunggu keikhlasan itu mendahului terpenuhinya segala harapan yang masih ditunda-Nya. Wallahu a'lam.

Semuanya kembali kepada diri kita masing-masing, yakni dari perspektif apa kita memandang itu. Apakah kita akan menolak atau ikhlas, bersyukur atau mengeluh?

Di kemudian hari ada sesuatu terjadi di hidup saya dan Ibu itu berkata: "Untung Ibu tidak punya anak". Sepertinya dia lupa pernyataannya dulu. #smile.

Jika Ibu itu bisa kasihan kepada saya bila tua nanti tanpa anak, apalagi Tuhan.

Jika manusia saja bisa mengasihi saya sedemikian besarnya, apalagi Tuhan.

Kasih-Nya jauh lebih besar dan sempurna. Ia tahu apa yang terbaik buat saya kemarin, hari ini, dan esok. Selamanya.

Cukuplah bagiku untuk juga berkata:

Biarkanlah aku menikmati yang menjadi bagianku.

Salam. HEP.-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun