Mohon tunggu...
Heni Prasetyorini
Heni Prasetyorini Mohon Tunggu... Tutor - Edupreneur

Pegiat pendidikan coding untuk anak-anak di Heztek Coding

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

"Self Love" Itu Juga Penting, Tolong Diri Sendiri Dulu Baru Tolong Orang Lain

24 Januari 2020   07:28 Diperbarui: 25 Januari 2020   21:12 1700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: freepik.com

Sore kemarin, sebuah iklan dari platform crowdfunding yang mengumpulkan dana dari berbagai orang untuk membantu orang sedang lewat di beranda Facebook saya. Ada satu caption video yang membuat saya tertegun. 

Ibu X tidak menghiraukan sakit di rahimnya. Selama bertahun-tahun dia kuat menahan sakit, demi menolong anak yatim piatu dan seterusnya. Saat ini dia sudah tidak bisa bertahan dan tak mampu menahan sakit. Suaminya yang hanya bekerja sebagai A, dengan gaji hanya 3 juta cuma bisa melihat istrinya kesakitan. 

Menahan sakit, karena bela-belain nolong anak yatim piatu dan orang tidak mampu?

Menahan sakit? menahan sakit gitu loh. Apakah ini benar Kita tidak mempedulikan kondisi diri sendiri?

Kalau sudah seperti itu, rahim harus diangkat, kesakitan sangat, mau operasi nggak punya biaya? terus bagaimana?

Saya berkali-kali merenungkan hal ini. Apakah ya benar punya sikap hidup seperti itu?

Saya sangat bersimpati dan salut dengan kebaikan hati si ibu. Ataupun kebaikan hati orang lain. Bahkan kebaikan si crowdfunding yang kadang bikin saya heran juga sih, "bukannya sudah ada BPJS?", "Kenapa membiarkan ibu kesakitan tanpa ada tindakan medis?". Tapi sudahlah bukan itu yang mau saya bahas di sini. 

Saya pernah mengalami momen ingin sekali membantu orang, tapi hidup saya berantakan. Keuangan jadi makin kembang kempis. Kondisi rumah tangga juga lumayan kena dampak. Mengapa? Ya karena saya konsentrasi untuk membantu orang lain itu dan abai dengan diri saya sendiri. 

Saat itu saya tetep keukeuh dan bersikeras, bahwa membantu orang lebih penting daripada saya sendiri. Kalau ini didengar orang, juga keren kan? Berkorban demi orang lain, abak belur demi kesejahteraan orang lain. Hancur pun tak apa, asal mereka jadi orang berguna.

Kenyataannya, saya menjadi tidak produktif. Ketidakenakan hati muncul. Namanya keuangan juga bakal jadi masalah juga. Mikir sulit, karena kepikiran yang mau ditolong. Tapi saya bertahan mati-matian membela. 

Akan tetapi sampai juga ke "gong"-nya. Suatu hari, di suatu peristiwa, nih orang yang saya tolong melakukan kesalahan yang sangat fatal. Saya merasa sangat dikhianati.

Ibarat kata, sudah dibelain kepala jadi kaki, kaki jadi kepala, eh nih orang nggak tahu diri. Bukannya kerja bener di jalan yang udah kita carikan, eh malah do something bad. Nama saya juga ikut tercoreng-moreng.

Kondisi saya berbeda, akan tetapi hikmah kehidupan yang saya tarik bakal sama dengan ibu yang saya ceritakan di atas.

Pada akhirnya, saya memberanikan diri untuk menjadi Selfish atau mikirin diri sendiri dulu. Saya bertekad untuk memprioritaskan diri saya sendiri dan keluarga saya (anak dan suami). 

Saya fokus memperkuat diri sendiri, baru ketika sudah kuat maka akan lebih siap menolong orang lain. Nah ini menjadi babak baru lagi, karena dalam proses untuk menjadi kuat itu tidaklah mulus.

Orang yang hobi berkomentar asal akan menilai kita menjadi pelit, kikir dan tidak peduli dengan orang lain. Padahal saya bertindak jauh lebih hati-hati dan terukur. Berjalannya waktu, ketika sudah berhasil, lebih mapan dan lebih kuat, ternyata kita jauh lebih leluasa untuk menolong orang lain.

Satu nasihat dari teman saya ternyata itu benar adanya. Bahwa lebih baik kita fokus untuk menolong diri sendiri dulu baru menolong orang lain.

Bahkan kalau ada aturan di pesawat terbang ketika ada kendala dan harus ada masker oksigen, dianjurkan untuk memasang masker diri sendiri dulu baru menolong orang lain, walaupun itu berlaku untuk ibu dan anaknya. Ibu harus menolong dirinya sendiri dulu, baru memasangkan masker oksigen kepada anaknya.

Kita sambungkan lagi ke kisah ibu dengan sakit rahim di atas. Selayaknya, sang ibu harus berbesar hati mundur sejenak menjadi penolong siapapun itu, dan mulai memperdulikan dirinya sendiri. Memang menolong itu menyenangkan sekali. Dan tampak tidak peduli atau mikirin diri sendiri itu rasanya menyakitkan di hati.

Akan tetapi, jika kita tidak mencintai diri sendiri, menomorsatukan diri sendiri, lalu siapa lagi?

Kalau ibu saya prinsipnya begini, "Kalau aku sakit, nanti anak-anakku bakal lebih repot dan akhirnya aku juga yang makin repot." Jadi ibu saya dengan 9 orang anak, tekadnya sangat besar untuk menjaga dirinya sendiri sehat. 

Entah itu minum jamu rebusan rutin. Segera minum obat jika badan udah tidak enak. Segera ke puskesmas atau rumah sakit jika sudah merasa obat warung tidak mempan. 

Dengan prinsip ini, ibu saya jauh lebih kuat mengatasi dan merawat anaknya yang banyak itu. Bahkan tanpa asisten rumah tangga sama sekali. Ditambah dengan usaha membuka toko jamu, menjahit dan memasak beberapa pesanan makanan atau kue. 

SELF LOVE. Mencintai diri sendiri. 

Seyogianya setiap kita mulai mempedulikan hal ini. Sehebat apapun kita, jika endingnya sakit dan tak berdaya karena tidak menghiraukan kesehatan diri sendiri, lalu bisa apa?

Love yourself and listen to your body. Tolonglah dirimu sendiri dulu, baru tolong orang lain. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun