Jalan Keluar
Menghadapi Macaca bukanlah soal memilih siapa yang paling berhak atas ruang hidup. Pertanyaan yang lebih mendasar justru, bagaimana manusia dan kera bisa berbagi ruang tanpa saling melukai? Jawabannya tidak bisa berhenti pada teknis konservasi, melainkan menyentuh kebiasaan, budaya, dan tata kelola ruang kita sehari-hari.
Pertama, kita perlu mengubah cara pandang terhadap pemberian makanan pada satwa liar. Praktik memberi makan monyet demi kesenangan bukan sekadar persoalan aturan, tetapi cermin dari bagaimana manusia menjadikan satwa sebagai perpanjangan ego. Ketika kita berhenti melihat mereka sebagai objek hiburan, kita belajar sebuah etika sederhana: menghormati batas alam.
Kedua, pengelolaan sampah dan ruang publik harus diperlakukan sebagai bagian dari tata kota dan desa. Sampah yang berserakan sama berbahayanya dengan memberi makan langsung, sebab ia mengajari kera bahwa manusia adalah gudang makanan. Kota dan desa yang bersih sesungguhnya melindungi manusia sekaligus satwa.
Ketiga, konflik Manusia--Macaca sering menimpa petani, dan mereka tidak boleh terus-menerus menanggung kerugian sendirian. Relasi yang seimbang hanya mungkin jika ada keadilan sosial, skema kompensasi, dukungan teknologi sederhana, hingga solidaritas antarwarga. Konflik ini bukan semata-mata biologi, melainkan juga politik agraria, siapa yang memikul risiko dan siapa yang menikmati keuntungan.
Keempat, pemulihan habitat perlu dipandang sebagai investasi jangka panjang. Pohon yang ditanam hari ini mungkin berbuah untuk kera, tetapi ia juga memberi udara bersih bagi manusia dan warisan hidup untuk generasi mendatang. Dalam perspektif ini, konservasi bukan biaya, melainkan tabungan bersama.
Dan terakhir, komunikasi risiko tidak bisa berhenti pada papan larangan. Ia harus hadir dalam narasi wisata, dalam buku pelajaran sekolah, bahkan dalam percakapan sehari-hari. Masyarakat baru sungguh siap ketika merasa bahwa hidup berdampingan dengan satwa adalah bagian dari cerita bersama, bukan sekadar instruksi dari pengelola.
Jika film Planet of the Apes memberi alegori tentang bahaya dominasi tanpa empati, maka lapangan kita menuntut bukti nyata, apakah kita bisa mengelola relasi dengan satwa yang belajar dari kita? Caesar memilih menahan diri karena tahu setiap kekerasan hanya melahirkan kekerasan baru. Kita pun bisa belajar memilih jalur yang sama. Menghentikan kebiasaan memberi makan, menata sampah, mendukung petani dengan mitigasi, dan memulihkan habitat bukan hanya demi monyet, tetapi juga demi kita sendiri.
Dalam jangka panjang, proyeksi konservasi MEP dan beruk akan sangat ditentukan oleh bagaimana manusia menata ruang hidupnya sendiri. Jika tren fragmentasi hutan berlanjut tanpa kendali, konflik akan makin sering terjadi dan populasi kedua spesies ini kian terdesak. Namun, arah sebaliknya juga terbuka, riset terbaru menunjukkan bahwa koridor hijau, pengelolaan sampah yang disiplin, serta program edukasi lintas generasi dapat menurunkan tingkat konflik secara signifikan. Masa depan konservasi mereka bukan hanya urusan satwa, melainkan cermin tata kelola manusia terhadap ruang hidupnya.
Bayangkan jika desa-desa wisata dan kawasan kota di Indonesia mulai menata ulang hubungan dengan primata, tidak ada lagi pemberian makanan sembarangan, ada mekanisme kompensasi bagi petani, dan hutan desa dipulihkan sebagai habitat. MEP dan beruk akan tetap hadir sebagai "tetangga lama", tetapi dalam relasi yang lebih sehat, mereka tetap liar, kita tetap aman, dan ruang hidup bersama lebih seimbang. Dengan cara ini, masa depan konservasi bukan sekadar menyelamatkan satwa, tetapi juga merawat martabat kita sebagai manusia yang mampu hidup berdampingan.
Terakhir, apa yang dilihat dari mata Macaca bukan sekadar "satwa liar," melainkan bayangan diri kita, apakah kita manusia yang hanya tahu menundukkan, atau manusia yang mau berbagi ruang?