Mohon tunggu...
Hening Nugroho
Hening Nugroho Mohon Tunggu... Laki-laki

Menulis itu sederhana Ig @hening_nugroho Waroenkbaca.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Nature

Planet of the Apes : Bayangan Kita dari Mata Macaca

8 September 2025   01:37 Diperbarui: 8 September 2025   01:37 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kabut pagi turun di Jembatan Golden Gate. Seekor kera, Caesar, menatap kota dengan mata yang penuh tanya. Dalam seri Planet of the Apes, ia bukan monster, melainkan cermin. Film itu menyingkap bagaimana keserakahan manusia terhadap ruang dan kuasa mendorong satwa lain merespons dengan cara yang kita paksa: bertahan hidup, melawan, dan beradaptasi. Ia membawa pesan etis sederhana, tanpa empati lintas spesies, mustahil ada koeksistensi yang damai.

Adegan film itu terasa jauh, tetapi sesungguhnya dekat. Di Bali dan Jawa, monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) menjadi "tetangga lama" yang kini kian sering berbagi ruang dengan manusia. Di Pura Luhur Uluwatu, riset etologi mencatat perilaku unik yang disebut rob-and-barter, monyet mencuri barang turis, kacamata, ponsel, topi, lalu menukarnya dengan makanan. Bagi sebagian orang, itu hanya kelucuan. Bagi peneliti, ia adalah bukti kecerdasan sosial, monyet belajar dari pengalaman, mengamati reaksi manusia, lalu mewariskan strategi ini antar generasi. Kita pun tersadar, perilaku mereka adalah bayangan perilaku kita. Kita yang menawari makanan, kita yang bereaksi panik, kita pula yang memperkuat kebiasaan itu.

Kisah lain datang dari Sangeh. Ketika pandemi melanda 2020--2021, turis berhenti datang, sesajen dan camilan tak lagi mengalir. Ratusan monyet yang terbiasa diberi makan beralih mencari di atap rumah warga. Media mencatat mereka mencuri camilan, bahkan menunggu kesempatan masuk ke dapur. Bukan karena mereka "nakal", melainkan karena kita yang menggeser sumber makanan alaminya ke makanan manusia, lalu tiba-tiba memutus aliran itu. Akibatnya, mereka kembali ke sumber yang paling mudah: kita.

Temuan di Taman Nasional Alas Purwo, Jawa Timur, bahkan menegaskan bahwa ketika manusia memberi makan, lebih dari separuh asupan monyet berasal dari makanan buatan manusia. Akibatnya perilaku mereka berubah drastis: ruang jelajah menyempit, interaksi sosial meningkat, dan agresivitas lebih sering muncul.

Di balik kisah itu ada risiko nyata. Kajian di Sangeh menunjukkan sebagian besar pekerja hutan pernah digigit atau dicakar monyet. Mereka yang memberi makan tercatat 8,3 kali lebih berisiko dibanding yang tidak memberi makan. Data juga menemukan mayoritas monyet di sana membawa Herpes B, virus yang jarang menular ke manusia tetapi bila menular bisa berakibat fatal.

Risiko rabies pun membayangi, sebab Indonesia masih endemik. Studi klinis bahkan memperkirakan sekitar 6% wisatawan di "monkey temples" Bali pernah digigit, cukup banyak yang memerlukan vaksinasi pasca pajanan. Ini bukan sekadar "oleh-oleh liburan", melainkan persoalan kesehatan publik yang serius. Studi lapangan di Sangeh menegaskan bahwa hampir setengah pekerja pernah cedera akibat monyet, dan lebih dari 80% monyet terdeteksi membawa antibodi Herpes B. Fakta ini membuat edukasi wisatawan menjadi semakin penting, bukan untuk menakuti, melainkan agar sadar risiko.

Konflik tak berhenti di kawasan wisata. Di Riau, Sumatra, penelitian mencatat Macaca kerap muncul di permukiman dan menyerbu kebun. Polanya jelas, semakin dekat jarak ke fragmen hutan, semakin tinggi peluang Macaca masuk. Mereka tertarik bukan hanya pada jagung atau padi, tetapi juga sampah organik. Di Jawa Tengah, laporan serupa muncul, hampir setiap tahun antara 2011--2019, petani melaporkan kerugian karena monyet.

Analisis spasial terbaru (2024) bahkan memetakan "hotspot" konflik untuk membantu desa mengantisipasi. Sebuah studi di Dumai, Riau, mendokumentasikan serangan monyet ke anak-anak, kerusakan atap rumah, pencurian makanan, hingga perusakan fasilitas. Peneliti merekomendasikan pemulihan habitat, edukasi warga, hingga monitoring populasi, menegaskan bahwa konflik ini memang pola berulang, bukan sekadar kejadian sesaat.

Ironisnya, status konservasi monyet ekor panjang justru memburuk. Sejak 2022, IUCN menetapkan mereka sebagai "Terancam Punah (Endangered)" akibat perburuan, perdagangan, alih fungsi lahan, dan konflik dengan manusia. Mereka bukan lagi satwa yang "melimpah ruah" seperti yang dibayangkan banyak orang. Dengan kata lain, ketika sebagian orang memandangnya hama, sains justru mengingatkan bahwa populasinya sedang tertekan.

Apa akar masalahnya? Pertama, hutan makin terfragmentasi, sehingga pakan alami menipis. Kedua, kebiasaan manusia memberi makan, dengan niat baik atau sekadar ingin lucu-lucuan, mengubah perilaku monyet dari takut menjadi agresif oportunis. Ketiga, pengelolaan sampah yang buruk membuat mereka semakin yakin bahwa manusia adalah sumber makanan. Keempat, di desa pertanian, kerugian petani sering tidak mendapat kompensasi, sehingga jalan pintas seperti melempar batu atau meracun dianggap paling cepat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun