Mohon tunggu...
Hendro Sutono
Hendro Sutono Mohon Tunggu... Pegiat kendaraan listrik, Admin KOSMIK Indonesia.

Penggemar otomotif. Pegiat kendaraan listrik dan admin FB Group KOSMIK Indonesia (komunitas sepeda/motor listrik indonesia)

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Membongkar Ilusi Kendaraan Listrik

23 September 2025   08:35 Diperbarui: 25 September 2025   07:58 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika kendaraan listrik mulai masuk ke jalan raya Indonesia, wajar jika publik masih kebingungan. Sama seperti dulu ketika ponsel pertama kali hadir: ada yang yakin baterainya bisa bertahan sebulan, ada pula yang percaya sinyalnya bisa bikin kepala pusing. Pola pikir serupa kini terulang di era elektrifikasi transportasi.

Miskonsepsi pertama yang paling sering beredar adalah anggapan bahwa memakai kendaraan listrik sama artinya dengan "jalan gratis." Listrik dianggap seolah-olah datang dari langit tanpa tagihan.

Persepsi ini sering lahir dari cara pandang mesin bensin (ICE). Dalam kendaraan konvensional, ada alternator yang menghasilkan listrik untuk lampu, audio, dan mengisi aki.

Dari situ muncul imajinasi bahwa listrik "gratis" karena mesin memang sudah menyediakannya. Padahal, mesin bensin bergerak berkat BBM, dan alternator hanya memanfaatkan sebagian tenaga dari pembakaran itu untuk menghasilkan listrik. Listrik hanyalah produk sampingan, bukan sumber utama energi. Ketika bicara EV, logika ini terbalik: listrik justru adalah bahan bakar utama, yang tentu saja harus dibeli dan dibayar.

Norwegia, negara dengan penetrasi EV tertinggi, sudah membuktikan bahwa listrik tetap punya harga. Awalnya, insentif besar seperti parkir gratis dan tol nol rupiah membuat EV laris. Kini insentif itu dipangkas, tetapi pengguna mobil listrik tetap bertambah. Alasannya sederhana: biaya listrik untuk menempuh 100 kilometer memang lebih murah daripada bensin, tapi sama sekali tidak gratis. Hemat, iya. Gratis, tidak.

Miskonsepsi lain pun bertebaran. Publik kerap terjebak pada imajinasi baterai abadi. Data Tesla menunjukkan, setelah 320 ribu kilometer, kapasitas baterai masih bertahan 90 persen. Artinya, degradasi itu nyata, meski tidak separah yang dikhawatirkan. Industri pun sudah mengantisipasi: garansi delapan hingga sepuluh tahun menjadi standar baru.

Jika dibandingkan dengan kendaraan ICE, harga jual kendaraan ICE dengan jarak  tempuh yang sudah mencapai lebih dari 300 ribu kilometer pun sangatlah rendah, bahkan sering kali lebih menguntungkan jika dijual pretelan dalam bentuk spare part atau dihitung material besi untuk didaur ulang.

Fast charging juga diperlakukan bak dewa penolong. Padahal, penelitian National Renewable Energy Laboratory di Amerika Serikat menegaskan, pengisian cepat yang terlalu sering justru mempercepat penuaan baterai. Di Eropa, delapan dari sepuluh sesi pengisian EV justru dilakukan di rumah dengan metode lambat. Fast charging adalah pilihan darurat, bukan gaya hidup.

Ada pula mitos bahwa kendaraan listrik tidak membutuhkan perawatan. Klaim ini lahir dari perbandingan dangkal dengan mesin bensin. Memang, tidak ada oli mesin, filter udara, atau timing belt. Namun ban, suspensi, dan sistem pendingin baterai tetap perlu dirawat. Data dari armada taksi listrik di Cina menunjukkan komponen inilah yang paling sering diganti, bukan dinamo/motornya.

Kesalahpahaman berikutnya jauh lebih berbahaya: anggapan bahwa mobil listrik adalah solusi tunggal krisis lingkungan. Emisi memang berkurang signifikan, bahkan jika listrik masih bersumber dari batubara. Namun, tanpa transformasi energi, dampak positif itu tetap terbatas. Mobil listrik bukan jubah superhero, hanya salah satu alat menuju dunia yang lebih bersih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun