Mohon tunggu...
Hendri Teja
Hendri Teja Mohon Tunggu... Novelis - pengarang

Pengarang, pengemar narasi sejarah. Telah menerbitkan sejumlah buku diantaranya: Suara Rakyat, Suara Tuhan (2020), Tan: Gerilya Bawah Tanah (2017), Tan: Sebuah Novel (2016) dan lain-lain. Untuk narasi sejarah bisa salin tempel tautan ini: Youtube: https://www.youtube.com/@hendriteja45

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Tan Malaka dan Para Pemuja Junjungan

21 Februari 2019   21:32 Diperbarui: 22 Februari 2019   09:31 1225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Makam Tan Malaka di Selopanggung, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. (KOMPAS.com/M.Agus Fauzul Hakim).

Pada 21 Februari 1949, 70 tahun silam, Tan Malaka dieksekusi mati. Bapak Republik Indonesia itu dibunuh oleh bangsanya sendiri, Suradi Tekebek dari Batalion Sikatan Divisi Brawijaya.

Tapi kita tidak pernah tahu apakah perintah itu benar-benar inisiatif Letda. Soekotjo, yang kata sejarawan Harry Poeze: "Orang kanan sekali yang beropini bahwa Tan Malaka harus dihabisi." Tidak adakah aktor intelektual yang lebih melek politik? Tersebab kala itu propaganda merdeka 100% yang kontra politik diplomasi Sukarno-Hatta sudah dianggap sebagai ancaman oleh pemerintah sehingga harus ditumpas.

Bahkan sebenarnya kita tidak pernah benar-benar yakin kalau makam di Desa Selopanggung, lereng Gunung Wilis, Kediri itu, benar-benar makam Tan Malaka. Sebab pencocokan DNA dari keluarga Tan Malaka dengan DNA jasad di makam itu oleh sekelompok dokter ahli forensik dari Universitas Indonesia belum menemukan hasil  yang bisa dipastikan cocok 100 persen hingga hari ini.

Tapi apatah guna mengulik semua itu? Toh, kalau bukan lantaran peluru Tekebek, waktu pula yang akan membunuh Tan Malaka. Toh, kalaupun selamat dari insiden itu, Tan Malaka pasti terbilang kaum yang disembelih atau disekolahkan ke Pulau Buru pada periode 1965-1966, yang artinya hanya memperluas berlarat-laratnya stigma komunis versi Orde Baru yang dituangpaksakan atas dirinya. Toh, pihak keluarga sudah ikhlas hati untuk memaafkan segala kekejian itu. Toh Indonesia tidak masuk kubur hanya gara-gara mati-hidup Tan Malaka.

Pun, tak elok rasanya membingkai kematian Tan Malaka dalam kacamata pesimis. Misalnya: jangankan kasus yang berjarak 70 tahun itu, bahkan aktor intelektual dibalik pen-TanMalaka-an Munir saja sampai hari ini tidak terungkap?

Jadi, alangkah baiknya bila kita mengenang kematian Tan Malaka dengan memaknai kembali quote  legendaris yang dikutip dari Dari Penjara ke Penjara itu: 

"Ingatlah! Bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras daripada dari atas bumi."

Tan Malaka boleh saja pergi, tapi pen-TanMalaka-an tidak boleh terulang lagi. Bukan sekadar dihukum mati tanpa proses peradilan sebab itu hanya puncak gunung es. Jauh terbenam di dasar lautan itu ada gunung penolakan atas segala bentuk tindak kekerasan---fisik, psikologis, struktural atau kultural---yang dipicu oleh perbedaan pandangan. Lebih-lebih perbedaan pandangan terhadap elit penguasa.

Blakblakan saja, hari ini benih-benih pen-TanMalaka-an tengah berkecambah di bumi Indonesia. Meskipun kualitasnya bak emas dan loyang. Jika eksekusi Tan Malaka berat dipicu perbedaan prinsip dalam mempertahankan Republik, pen-TanMalaka-an zaman now cenderung tersebab urusan memuja junjungan. Puah!

Tragis memang. Padahal, jauh-jauh hari Tan Malaka sudah menolak kesesatan mitos Ratu Adil. Alam pikiran Tan Malaka saklek menolak mitos pemimpin super.

"Revolusi itu bukan sebuah ide yang luar biasa, dan istimewa, serta bukan lahir atas perintah seorang manusia yang luar biasa...disebabkan oleh pergaulan hidup, suatu akibat tertentu dari tindakan-tindakan masyarakat."  Massa Aksi 1926

Sialnya, 50 tahun berselang, kegelisahan ini malah diungkap Moctar Lubis. Pada pidato kebudayaan yang diadakan di Taman Ismail Marzuki pada 6 April 1977 silam, pewarta senior itu merumuskan enam ciri negatif Manusia Indonesia, yang salah satunya adalah percaya takhyul.

Hari ini kaum yang percaya takhyul itu terpolarisasi ke dalam dua bahtera dengan moncong meriam yang tembak-menembak. Mereka berperang dengan gegap-gempita, sarat provokasi tanpa lihat kiri kanan. Alhasil, orang-orang yang tidak ikut-ikutan seringkali kena peluru nyasar pula.

Tersebab pertempuran itu menyusup hingga ke sampan-sampan nelayan, ke ruang-ruang privat yang dahulu steril dari propaganda-propaganda murahan. Semua mahluk yang punya suara dipaksa untuk memilih hitam atau putih, sementara yang mengambil jalan tengah dihakimi sebagai kaum egois.

Kaum pemuja junjungan adalah ancaman besar bagi konsensus berbangsa dan bernegara. Alih-alih meneguhkan Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika, mereka berpotensi besar mengubrak-abriknya.

Tersebab, para pemuja junjungan adalah kaum yang mabuk. Tidak bisa lagi kita berharap pada akal sehat mereka sekalipun kita mengunjukan data-data yang valid dan akuntabel terkait kebodohan, kebohongan, atau kegagalan sang junjungan. Mereka tegak lurus di garis kalau junjungan adalah "Ratu Adil".

Maka mengkritik junjungan bukan saja tidak dibenarkan tapi tindak pelecehan. Muaranya hanya kemarahan, hanya pembelaan yang membabi-buta. Sebagai kaum yang sedang mabuk, mereka tidak sadar telah berkontribusi dalam mengoyak tenun kebangsaan kita.

Sudah saatnya kita mewaspadai kaum pemuja junjungan. Melawan mereka habis-habisan! Jangan sampai hanya gara-gara urusan politik lima tahunan, mereka merasa berhak melakukan tindak kekerasan. Jangan sampai cuma gara-gara urusan membela junjungan mereka merasa punya legitimasi untuk menjelma Tekebek-Tekebek atau Soekotjo-Soekotjo baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun