Sialnya, 50 tahun berselang, kegelisahan ini malah diungkap Moctar Lubis. Pada pidato kebudayaan yang diadakan di Taman Ismail Marzuki pada 6 April 1977 silam, pewarta senior itu merumuskan enam ciri negatif Manusia Indonesia, yang salah satunya adalah percaya takhyul.
Hari ini kaum yang percaya takhyul itu terpolarisasi ke dalam dua bahtera dengan moncong meriam yang tembak-menembak. Mereka berperang dengan gegap-gempita, sarat provokasi tanpa lihat kiri kanan. Alhasil, orang-orang yang tidak ikut-ikutan seringkali kena peluru nyasar pula.
Tersebab pertempuran itu menyusup hingga ke sampan-sampan nelayan, ke ruang-ruang privat yang dahulu steril dari propaganda-propaganda murahan. Semua mahluk yang punya suara dipaksa untuk memilih hitam atau putih, sementara yang mengambil jalan tengah dihakimi sebagai kaum egois.
Kaum pemuja junjungan adalah ancaman besar bagi konsensus berbangsa dan bernegara. Alih-alih meneguhkan Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika, mereka berpotensi besar mengubrak-abriknya.
Tersebab, para pemuja junjungan adalah kaum yang mabuk. Tidak bisa lagi kita berharap pada akal sehat mereka sekalipun kita mengunjukan data-data yang valid dan akuntabel terkait kebodohan, kebohongan, atau kegagalan sang junjungan. Mereka tegak lurus di garis kalau junjungan adalah "Ratu Adil".
Maka mengkritik junjungan bukan saja tidak dibenarkan tapi tindak pelecehan. Muaranya hanya kemarahan, hanya pembelaan yang membabi-buta. Sebagai kaum yang sedang mabuk, mereka tidak sadar telah berkontribusi dalam mengoyak tenun kebangsaan kita.
Sudah saatnya kita mewaspadai kaum pemuja junjungan. Melawan mereka habis-habisan! Jangan sampai hanya gara-gara urusan politik lima tahunan, mereka merasa berhak melakukan tindak kekerasan. Jangan sampai cuma gara-gara urusan membela junjungan mereka merasa punya legitimasi untuk menjelma Tekebek-Tekebek atau Soekotjo-Soekotjo baru.