Mohon tunggu...
Hendri Muhammad
Hendri Muhammad Mohon Tunggu... Wiraswasta - Welcome Green !! Email: Hendri.jb74@gmail.com

... biarlah hanya antara aku dan kau, dan puisi sekedar anjing peliharaan kita

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Erick Thohir dalam Perdebatan Ayam dan Telor Duluan Mana

3 April 2024   03:54 Diperbarui: 4 April 2024   05:54 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari balkon apartemen di Bintaro, suasana malam begitu tenang beberapa hari sebelum perayaan Hari Raya Idul Fitri. Aku menatap bintang sembari membayangkan sesuatu yang agak bombastis bersama pikiran-pikiran liar yang sudah sedari tadi menghantui dengan sebuah rencana kotor.

Aku ingin pertemuanku dengan Erick Tohir nanti tidak didasari oleh sesuatu yang terencana, tidak melalui janji-janji pertemuan yang telah diatur jauh-jauh hari oleh orang tertentu dan tidak juga melewati protokoler kementerian.

Aku ingin cara yang tidak biasa; cara yang memungkinkan pertemuan kami bisa dilaksanakan secara lebih emosional untuk mendapatkan sebuah jawaban orisinal dari satu pertanyaan klasik yang tetap menjadi perdebatan hingga kini.

Aku membayangkan moment pertemuan itu seolah-olah terjadi secara eksidental, misalnya didahului dengan menyerempet mobil Pak Erick lalu pertemuan yang kuinginkan bisa terjadi di kantor Polisi terdekat sehingga aku bisa melontarkan pertanyaan:

"Pak Erick, telor dan ayam duluan mana?"

Tentu aku sangat serius dengan pertanyaan ini. Aku ingin mendengarkan jawaban spontan agar bisa menghayati profil seorang Erick Thohir terkait dengan karakter dan bagaimana dia berpikir dan bertindak saat berada dalam tekanan.

Tapi tenang saja, aku tidak berharap jawaban yang bermutu disini. Aku tidak mengharapkan jawaban yang menggunakan pendekatan sains, filsafat, sosiologi, keagamaan, atau supranatural sekalipun. Apa saja yang bisa langsung dia lontarkan dari pikirannya tidak akan jadi masalah.

Jika pertanyaan diatas membuat dia sedikit shock, aku akan bantu dengan beberapa clue:

"Pendekatan sains bilang telor duluan, sementara pendekatan agama bilang ayam yang duluan, Pak Erick yang mana?"

Jawaban Pak Erick selanjutnya menjadi tidak terlalu penting karena pertanyaan ayam dan telor ini selanjutnya akan kuhubungkan dengan organisasi PSSI yang sedang dia pimpin, dimana telor diasosiasikan sebagai pembinaan dan ayam diasosiasikan sebagai kompetisi.

Di titik ini tebakanku rasanya tidak akan meleset, Pak Erick akan mengoreksi atau mempertegas jawaban sebelumnya dengan menyatakan bahwa baik telor dan ayam maupun pembinaan dan kompetisi, keduanya harus bisa jalan bareng, harus ada sinergi antar kedua elemen untuk perkembangan sepak bola, dan.. bla bla bla.

Maaf aku terpaksa harus memotong pembicaraan Pak Erick karena apa yang akan disampaikan sudah sering kita dengar.

"Ok pak, cukup. Satu pertanyaan lagi, saya ingin tambahkan satu variabel pada pertanyaan telor dan ayam tadi yaitu kandang. Mana yang duluan: telor, ayam, atau kandang?"

Aku tahu pertanyaan ini akan mulai memancing emosi Pak Erick. Lha pertanyaan tentang ayam dan telor saja sudah menjadi tidak relevan apalagi kalau ditambah dengan satu variabel lagi.

Belum lagi jika aku menimpali dengan pernyataan bahwa orang-orang yang menyatakan bahwa variabel kandang tidak relevan dimasukkan dalam perdebatan tentang ayam dan telor, maka orang itu adalah type orang yang sedang mengalami dis-orientasi yang merupakan gejala awal dari proses penuaan dini.

Zaman modern sekarang mau berdebat tentang ayam dan telor kalau tidak dalam konteks di dalam kandang mau dimana lagi? Di hutan? Atau di kota? Masa kita membiarkan ayam dan telor menggelinding dan berkeliaran begitu saja di kepadatan kota?

Aku tahu situasinya sudah mulai memburuk dan pikiran-pikiran liarku mulai sulit untuk menebak bagaimana reaksi Pak Erik selanjutnya. 

Aku mungkin akan mencoba melontarkan beberapa kalimat yang sekedar untuk menetralisir suasana.

"Dalam konteks sepakbola, variabel "kandang" itu sebenarnya saya asosiasikan sebagai PSSI, Pak Erik, makanya pertanyaan mana yang duluan antara pembinaan atau kompetisi menjadi relevan. Ini tentang dorongan yang berasal dari dalam lubuk hati bapak lebih kuat kemana. Ini tentang keberpihakan. Tentang kebijakan-kebijakan yang nanti diambil kemana arah penekanannya."

Sebenarnya aku masih berharap pada satu kemustahilan dimana Pak Erick melempar bola panas ini kembali kepadaku, "Menurutmu bagaimana, ayam dan telor duluan mana?"

Jika kemustahilan ini terjadi, maka dengan tegas sambil setengah berteriak akan kujawab:

"TELOR..! Saya dengan tegas berada di gerbong pendekatan sains, Pak Erick, baik era dulu maupun di era industrialisasi sekarang ini."

Sampai disini, pikiran-pikiran liarku tidak mampu lagi merekonstruksi adanya pembicaraan lanjutan; semua sudah selesai hanya sampai disana. Tapi mungkin ada baiknya aku mengupas pandanganku tentang mengapa aku tegas berpihak pada "pembinaan" dalam pengembangan sepakbola Indonesia.

Sebelumnya mari kita pisahkan dulu mana yang menjadi wilayah pembinaan dan mana yang wilayah kompetisi karena masing-masingnya saling beririsan satu sama lain. Dalam pembinaan juga mengandung elemen kompetisi dan di dalam kompetisi juga memiliki unsur-unsur pembinaan.

Kompetisi adalah kompetisi sepakbola professional, kalau di Indonesia kita kenal sebagai Liga 1, 2, dan 3. Sementara Pembinaan adalah pembinaan sepakbola usia muda secara bertingkat berdasarkan kelompok umur.

Adapun indikator sukses persepakbolaan di satu negara utamanya diukur dari prestasi yang dicapai oleh tim nasional mereka, bukan dari seberapa besar uang mereka bisa akumulasikan dari industrialisasi sepakbola.

Satu hal yang menarik adalah aspek Pembinaan dan Kompetisi ternyata berada pada dua kutub yang berbada kalau dilihat dari perspektif industri.

Kompetisi professional telah menjadi industri hiburan yang glamour melibatkan jumlah uang berputar sangat besar sekaligus menjanjikan keuntungan luar biasa bagi para pelakunya. Sebut saja mulai dari penjualan merchant, penonton yang datang ke stadion, hak siar televisi, sponsor, para pengiklan, dan lain-lain. Kompetisi sepakbola, terutama di negara-negara besar di eropa, adalah manifestasi yang paling sempurna tentang bagaimana industrialisasi dunia olahraga bisa dilaksanakan dengan sangat baik.

Sementara Pembinaan justru sebaliknya, proses pembinaan para pesepakbola muda seperti sedang menempuh sebuah jalan yang sunyi, penuh liku dan duri. Perlu komitmen kuat dari para stakeholder mulai dari para orang tua pemain, PSSI, dan pihak klub, dimana mereka berada di pihak yang berinvestasi pada pada para talenta-talenta muda ini.

Sebagian besar negara-negara yang memiliki nama besar di sepakbola pasti memiliki keunggulan dalam sistem pembinaan sepakbola mereka, Ditambah lagi industri sepakbola modern pada prakteknya telah melahirkan beragam kombinasi yang memungkinkan terjadinya sinergi yang paling ideal antara pembinaan dan kompetisi, tergantung positioning yang akan diambil.

Aku mengambil contoh yang mudah kita pahami, yaitu Belanda. Sejak awal positioning pengelolaan sepakbola Belanda adalah concern yang tlebih besar pada aspek pembinaan.

Menariknya Belanda menunjukkan kepada kita bahwa keuntungan bisnis dari industri sepakbola tidak melulu didapat dari komersialisasi kompetisi professioal, tapi juga dari bursa transfer pemain yang merupakan produk dari pembinaan. Kompetisi professional Belanda sudah menjadi semacam etalase bagi penjualan talenta-talenta sepakbola mereka ke klub-klub luar negeri.

Ajax Amsterdam di Belanda sudah bertahun-tahun melakukannya. Pada musim-musim kompetisi dimana skuad Ajax mampu menembus perempat final atau semifinal UCL, maka pada saat bursa transfer pemain di buka mereka akan cuci gudang menjual pemain2 berbakat mereka dengan harga mahal. 

Hal yang hampir sama juga dilakukan oleh negara-negara Amerika Latin, misalnya Brazil dan Argentina. Hampir semua pemain Argentina yang menjadi juara di World Cup 2023 lalu adalah talenta-talenta yang ditempa di kompetisi sepakbola Eropa.

Lebih ekstrim lagi kalau kita merujuk sebagian besar negara-negara di Afrika. Mereka rasanya tidak terlalu perduli dengan kompetisi professional di negara mereka. Doktrin yang diberikan kepada generasi-generasi muda disana adalah bagaimana mengecap pembinaan dan kompetisi di sepakbola Eropa sedini mungkin.

Lantas bagaimana dengan pengelolaan sepakbola Indonesia?

Jika menggunakan analogi ayam, telor dan kandang diatas, sajak tahap awal kepengurusannya di PSSI, Erick Tohir telah mempersiapkan kandang bagi ayam dan telor yang berasal dari industri ayam dan telor di tempat orang lain. Kita menyebutnya dengan istilah naturalisasi.

Walaupun menuai banyak pro dan kontra, buatku tidak ada yang salah dengan naturalisasi, malah naturalisasi adalah langkah yang cerdik untuk mengangkat prestasi timnas.

Pertanyaannya bukan tentang naturalisasinya, tapi what next?

Industri butuh proyeksi pertumbuhan jangka panjang, perlu sustainability. Cara berpikirnya adalah bagaimana memaksimalkan dampak dari lonjakan prestasi timnas terhadap peningkatan kualitas pembinaan dan kompetisi sepakbola.

Perlu dicatat bahwa euforia yang muncul jika timnas mencapai prestasi tertentu jauh lebih besar berasal dari para fans atau penggemar sepakbola Indonesia yang sebagian besar adalah generasi muda. Sebagian besar energi sepakbola kita terkonsentrasi disana, di generasi muda kita.

Pada saat energi tersebut terus meningkat dan membesar, pada saat itulah kita butuh infrastruktur yang berfungsi menyalurkan energi yang melimpah tersebut ke sektor yang mampu mendukung sustanability. Sektor inilah yang kusebut sebagai "pembinaan".

Aspek sustainabilitas ini sangat penting, merujuk pada pengalaman Philipina yang selama bertahun-tahun membangun tim nasional mereka dengan berbasis naturalissi. Tahun 2018 Philipina mencapai rangking FIFA 111, tertinggi dalam sejarah sepakbola mereka, setelah selama 10 tahun mengereknya naik dari rangking terendah 190.

Namun alih-alih naik level ke peringkat 100 terbaik, kita malah melihat kondisi dimana Philipina sulit sekali mempertahankan level mereka untuk tetap bertahan di zona pencapaian tertinggi di 2018 tersebut. Saat ini Philipina terus turun hingga terakhir Ranking 140 FIFA.

Sederhananya, aku ingin PSSI berpihak pada pembinaan. Fokus pada pembinaan. Kita bicara tentang perbaikan sistem pembinaan yang sudah ada, atau kalau perlu bikin sistem pembinaan yang benar-benar baru sesegera mungkin. Lalu gelontorkan dana jauh lebih besar dari yang pernah dialokasikan untuk memacu pertumbuhan sektor pembinaan sepakbola kita.

Sekali lagi, untuk Pak Erick Thohir, "Fokuslah pada pembinaan !"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun