Hal yang perlu menjadi pemikiran, siswa bukan robot yang mempunyai kemampuan prima untuk belajar sepanjang waktu. Siswa itu manusia biasa yang mempunyai keterbatasan fisik dan mental. Coba bayangkan, siswa mengikuti proses pembelajaran di sekolah antara pukul 7 pagi sampai pukul 15 siang. Belum lagi diperhitungkan waktu tempuh pergi dan pulang sekolah. Tentunya, siswa mengalami keletihan secara fisik dan mental setelah menjalani proses pembelajaran dan plus waktu tempuh pergi/pulang sekolah + 8-10 jam sehari. Kemudian, siswa diharuskan mengikuti bimbel antara 2-4 jam. Belum lagi waktu siswa mengerjakan PR sekolah dan persiapan belajar untuk ke esok harinya.
Tentu kita memahami, seseorang yang sedang mengalami keletihan fisik dan mental, maka kemampuan bernalar dan tenaga pun akan mengalami penurunan. Dengan demikian, bagaimana siswa mampu menguasai materi pelajaran secara maksimal. Bisa jadi, siswa terjebak dan kewalahan mengatur waktu dan jadwal belajarnya. Alhasil, siswa mengalami kesulitan belajar di sekolah dan tak mampu menyerap materi pembelajaran di bimbel.
Hal lain yang kerapkali muncul, siswa mengalami kebingungan menentukan prioritas belajar, sehingga tidak sedikit siswa yang masuk bimbel menjadi menyepelekan pelajaran sekolah maupun gurunya di sekolah.
Dan yang juga perlu dikaji sistem pembelajaran bimbel yang lebih menekankan pen-drill-an penyelesaian soal-soal dalam menghadapi ujian itu apa sudah menjamin siswa memiliki kemampuan standar keilmuan dalam mengoperasionalkan keilmuannya yang didapat di bimbel. Kalau ditelaah siswa yang berhasil mengikuti bimbel, ternyata siswa tersebut di sekolah juga termasuk siswa yang punya kemampuan menonjol dan berprestasi. Siswa yang di sekolah termasuk siswa yang menonjol, maka setelah mengikuti bimbel bisa jadi menjadi lebih pintar.
Pengkajian dampak negatif kehadiran bimbel perlu menjadi pemikiran kita bersama dan pembuat kebijakan pendidikan untuk lebih meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan di sekolah. Oleh karena itu pemerintah berkewajiban untuk mengajak para guru untuk berubah mau mengadopsi inovasi ke dalam praktik pembelajaran yang menjadi tanggung jawabnya.
Konsekwensinya, guru harus dilatih bagaimana mempersiapkan semua model pendekatan baru dalam implementasi praktik pembelajaran. Seperti: pembuatan satuan pembelajaran, evaluasi, alat bantu, perubahan filosofi, pergeseran paradigma interaksi pembelajaran dengan siswa dan sebagainya. Tanpa ada perubahan yang baik dilihat dari aspek profesionalisme guru, sulit dibayangkan akan terjadinya keberhasilan praktik pembelajaran. Metode pembelajaran inquiry, discovery dan juga contextual learning perlu diperkenankan dan dilatihkan kepada guru. Begitu juga, leadership kepala sekolah juga perlu memberi dukungan terhadap perubahan di sekolah.
Hendra Surya.
http://hendrasurya.blogspot.com.