Mohon tunggu...
Hendra
Hendra Mohon Tunggu... Penulis - Clear thinking equals clear writing

Lahir dan besar di Jakarta. Topik tulisan: mengatur keuangan pribadi, kehidupan di Australia dan filosofi hidup sederhana. Saat ini bermukim di Sydney.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cerita Mereka yang Memilih Childfree karena Sayang Anak

8 Oktober 2022   09:41 Diperbarui: 9 Oktober 2022   03:59 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pasangan yang memilih tidak punya anak (Childfree) masih tidak lazim dalam budaya kita. Reaksi dan komentar masyarakat bervariasi dari mengecam egois, kekanak-kanakan, terpapar budaya barat, menyanyangkan hingga mengingatkan ("nanti orang tua kamu kasihan loh gak ada cucu", "banyak yang sampai IVF demi punya anak kamu malah gak mau", "siapa yang nanti jaga kalian kalau dah tua?").
 
Semua reaksi dan komentar diatas hanya melihat dari satu sudut pandang: Orang Tua.
 
Ironis, karena anak tidak ada hak suara dan memilih apakah ingin lahir ke dunia. Sebagai bapak dari dua anak yang ikut mengasuh anak dan ngobrol dengan sesama orang tua bertahun-tahun, saya menarik kesimpulan bahwa tidak semua pasangan pantas atau cocok menjadi orang tua dan anak menjadi korban terbesar karena keputusan mereka.
 
Obrolan dengan pasangan yang memilih childfree juga sangat jauh dari kesan egois atau kekanak-kanakan. Ya, beberapa mengaku belajar dan tidak ingin mengulang kesalahan orang tua. Ada juga yang merasa tidak butuh karena tidak pernah merasakan kehangatan keluarga lantaran sejak bayi diasuh babysitter dan pembantu meskipun secara materi lebih dari cukup.
 
Tulisan ini membeberkan perspektif mereka yang memilih tidak punya anak tanpa halangan ekonomi dan kesehatan. Nara sumber berasal dari Hongkong dan Indonesia yang bermukim di Sydney. Nama diganti untuk melindungi privasi mereka.
 
 
Sayang Anak Tapi Tidak Bisa Melihat Dirinya Menjadi Orang Tua

Alex lahir dari keluarga serba kecukupan di Hong Kong. Kehidupan masa kecilnya normal seperti kebanyakan anak umumnya: belajar, berantem dengan kakaknya. Tidak ada ucapan atau tindakan orang tua yang menyebabkan dia trauma atau menutup keingingan dia tidak punya anak, demikian pula istrinya. "I just don't feel paternal" ucapnya (saya tidak merasa ada jiwa kebapak-bapakan).
 
Dugaan tidak semua orang cocok menjadi orang tua tapi memaksakan diri tervalidasi ketika dia melihat temannya stress sekaligus merasa bersalah (karena merasa stress bukannya bahagia). Dia sering mendengar curhat temannya ribut memperebutkan waktu beristirahat dengan pasangan. Selain itu waktu bersama pasangan juga menjadi jauh lebih berkurang.
 
Kebutuhan dan keinginan anak menyetir agenda hidup mereka hingga tidak ada waktu melakukan aktifitas yang benar-benar mereka ingin lakukan sebagai pasangan seperti pergi ngafe dengan tenang berduaan atau spontan travel mini ke luar kota. Perkawinan dan kualitas hidup mereka terjun bebas sejak kehadiran anak yang ternyata tidak sesuai dengan banyangan. Berkaca dari pengalaman dan sadar temperamen tidak cocok sebagai orang tua, teman mereka berhenti pada 1 anak saja.
 
Alex sendiri mengaku suka anak-anak. Dia sering mengajak ponakannya keluar main dan membelikan hadiah. "I love kids but I know parenting and playing with kids are completely different. As uncle, I can always return the kids to their parents." (saya sayang anak-anak tapi sadar bahwa menjadi orang tua dan bermain dengan anak adalah hal yang sama sekali berbeda. Sebagai paman saya selalu bisa mengembalikan mereka ke orang tua).
 
 
Kesadaran Misi Hidup Anita dan Kehadiran Anak

Anita dan suaminya mengaku mendapat kepuasan hidup dari karir mereka masing-masing meski sering bekerja lembur. Mereka berharap dengan bekerja keras dan berinvestasi selagi muda, cita-cita FIRE (Financial Independent Retire Early), pensiun dini lewat pendapatan pasif lebih cepat tercapai.
 
Rencananya setelah FIRE mereka ingin mencurahkan waktu dan energi ke hobi dan kegiatan filantropi. Mereka sadar kehadiran anak tidak cocok dengan jam kerja panjang, gaya hidup dan cita-cita yang ingin mereka jalanin. Mereka merasa anak perlu dan pantas mendapat perhatian dan waktu dari orang tua. Mereka heran dengan cap 'egois' yang disematkan keluarga dan teman-teman sekitar.
 
"Gue yang gak mau punya anak koq mereka yang sewot, coba pikir sapa yang egois: maksa punya tapi gak bisa atau rela kasih waktu plus siapin materi cukup atau milih gak punya karena sadar anak pantas dapat orang tua layak?".
 
Komentar Anita mengingatkan fenomena yang saya lihat di beberapa shopping malls di Jakarta pada akhir pekan. Orang tua merunduk berjalan asyik main gadget sementara babysitter mendorong pram anak-anak mereka yang tentu saja juga sibuk dengan gadget masing-masing. Seorang teman mengaku mengisi kartu TimeZone senilai Rp1 juta dan mengirim anak dengan asisten rumah tangga agar dia dan istri bisa lebih leluasa shopping.
 
Waktu itu sempat terlintas "buat apa mereka punya anak toh begitu sudah lahir juga pada malas habisin waktu sama anak?"
 
Saya tidak bermaksud menghakimi. Mungkin setelah lima hari bekerja keras mereka juga ingin istirahat. Sebagai orang tua saya juga paham mengurus anak sangat menguras energi, waktu, kesabaran dan dalam keadaan terdesak memberi screen time membantu ortu agar tetap waras.
 
Orang luar kadang celoteh "punya anak justru bikin semangat, habis pulang kerja lihat senyum anak capek langsung hilang!". Orang tipe ini biasa terbagi tiga:

1. Tidak punya anak dan sok tahu.
2. Punya anak tapi banyakan cuma main sama anak (tidak mengurus).
2. Punya anak dan mendapat banyak bantuan (babysitter, asisten rumah tangga, kakek, nenek atau sanak keluarga besar lain).
 
Buat kebanyakan orang parenting terasa seperti 'pekerjaan tambahan' diluar cari nafkah. "It's work and work balance" kata mereka.
 
Orang-orang seperti Alex dan Anita sadar menjadi orang tua adalah tanggung jawab yang sangat besar sekali. Mereka secara sadar memutuskan tidak memiliki anak setelah menilai prioritas dan nilai hidup mereka dengan matang. Kesejahteraan anak tidak cukup hanya dengan memberi makan, baju, rumah tinggal dan sekolah. Mereka butuh dan layak mendapat waktu, perhatian dan hubungan hangat dari orang tua (sumber: psychologytoday.com).
 
Simak saja syarat dan prosedur mengadopsi anak di Indonesia lewat Yayasan Sayap Ibu. Setidaknya perlu melibatkan Yayasan dan Dinas Panti Sosial setempat dan dua kali 'home visit' untuk menilai kelayakan calon ortu dan laporan perkembangan anak (sumber: yayasansayapibu.or.id). Semua langkah dan persyarakatan ketat hanya demi satu tujuan: Kesejahteraan Anak.
 
Sekedar ingin punya momongan, status sosial, kasih cucu atau punya banyak anak cari rejeki untuk orang tua tidak akan lolos proses adopsi. Dunia akan menjadi tempat lebih baik seandainya semua calon orang tua berpikir jauh, dalam, matang, melakukan persiapan materi dan batin dan mematok kesejateraan anak sebagai kriteria utama. Kriminalitas karena trauma psikologis masa kecil menurun dan anak-anak lahir dalam keluarga kondusif.
 
Semakin banyak orang sadar menjadi orang tua tidak untuk semua orang, semakin sedikit penderitaan di dunia ini, semoga.
 

"Every child deserves parents but not every parent deserves a child" - Anonymous

 
Hendra Makgawinata
 
Sydney, 06/10/22

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun