Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

Mereka yang Dirugikan akibat Teknologi AI

24 Mei 2023   05:30 Diperbarui: 24 Mei 2023   05:26 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pameran seni lukis (sumber: dokpri/arsip)

Menarik memang, jika membahas mengenai teknologi artificial intelligence/AI yang menampilkan berbagai kemajuan dalam teknologi digital. Apalagi dalam bidan seni, yang sarat dengan teknik dan metode estetik ketika proses pembuatannya. AI memang menjadi bukti kemajuan teknologi yang memiliki "pemahaman" khusus dibalik kreativitasnya dalam berbagai mode.

Namun, karena kehadirannya, nilai jual seni rupa yang identik dengan karya kreatif dari para seniman tidak lagi ada harganya. Seiring perkembangan zaman yang modern dengan proyeksi intelegnsia, telah sampai pada titik yang mengkhawatirkan. Bagi para pegiat seni lukis tradisional, kiranya sudah memahaminya realitas ini sebagai bentuk akhir dari era estetika murni.

Khusus bagi pelukis tradisional, yang selalu mengedapankan cipta karsa dalam karyanya. Kehadiran AI sudah barang tentu menjadi penghambat roda ekonomi bagi mereka, yang membuat kondisi para seniman semakin termarjinalkan. Tidak ada lagi ruang kreasi, karena tidak ada harga jual yang baik di pasaran. Kemajuan teknologi yang membuat seni lukis, sudah sampai pada taraf puncaknya.

Banyak seniman kecil yang sudah beralih mencari pekerjaan alternatif lain di bidang seni. Seperti seni kriya, yang punya pasarannya sendiri dalam setiap event pameran. Kehebatan AI dalam memproyeksi citra yang estetik dengan paduan warna kontemporer, tentu menjadi daya pikat tersendiri bagi pendukungnya. Bukan lagi soal proses penciptaan sebuah karya seni yang kental unsur tradisi.

Belum lagi persoalan digitalisasi karya seni, yang kerap dimanipulasi atau dicopy untuk dipergunakan secara komersil. Ini adalah bentuk degradasi artistik sebagai seorang manusia. Imaji direduksi menjadi orientasi mekanis yang memiliki tujuan pragmatis oleh para pelakunya. Maka, ketertinggalan adalah hasil dari sikap non-artistik tersebut.

Lagi-lagi yang dirugikan tentu saja para pekerja seni, khususnya di bidang seni lukis. Betapa banyak seniman lukis yang tidak dapat kita temui lagi keberadaannya. Di desa atau kota besar, pasaran lukisan jatuh dibanding lukisan digital, dengan konsep AI. Suatu saat nanti hal ini dapat menjadi kisah sejarah berakhirnya era seni tradisional yang artistik.

Walaupun area kolektor memiliki ruang tersendiri dalam pemasaran, apakah etis jika musti menunggu puluhan tahun bagi sang pelukis untuk dapat menjajakan sebuah karyanya? Ironi memang, apalagi bangsa Indonesia dikenal sebagai surganya para seniman tradisional. Kita tentu tahun pada era lampau, maestro sekelas Afandi atau Basuki Abdullah punya nilai tinggi pada setiap karyanya.

Tapi apakah harus menunggu sang seniman terkenal layaknya mereka? Atau sampai ajal menjemput, barulah hasil karyanya dapat bernilai? Ini bukanlah pasaran yang menguntungkan tentunya. Apalagi jika generasi muda sedikit demi sedikit mulai meninggalkan kelas-kelas lukis yang ada di setiap jenjang pendidikan.

Mereka lebih asyik berkarya pada ruang-ruang digital, dari pada melalui media cat, kuas, hingga kanvas. Komponen yang tentunya akan sangat langka ditemui dikemudian hari. Menifestasi cipta karya dan karsa tentunya tidak dapat diambil alih oleh kepintaran digital yang non realistik. Imaji seorang seniman bukanlah kecerdasan yang dapat dibuat melalui pendekatan teknologi.

Walaupun tidak menutup kemungkinan akan hadir gaya lukisan serupa Raden Saleh, dalam wujud digital dengan mengembangkan sistem AI. Ini baru satu sektor saja, belum lagi sektor seni lainnya, yang rentan diskriminasi ekonomi di setiap eranya. Tidak heran, banyak pesohor dunia yang mewaspadai kehadiran AI di masa datang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun