Tanggal 23 Juli 1949. Soetjipto, terlibat dalam aksi penyergapan satu seksi pasukan Belanda dibawah Letnan Satu Leen Teeken. Para pejuang bersembunyi dibalik tanggul sebuah sungai kecil disisi jalan yang hendak dilalui pasukan Belanda. Ketika saatnya tepat, serangkaian tembakan gencar mengarah ke pasukan Belanda, disertai lemparan granat tangan.
Tiba-tiba, Duaaar! Seketika tiga pasukan Belanda tumbang, dan yang lainnya langsung menyerah karena merasa telah terkepung oleh para pejuang. Tujuh pasukan Belanda berhasil ditawan, dengan tanpa korban dari para pejuang, termasuk Soetjipto yang dengan sumringah mengangkat karabinnya tanda kemenangan.
Walau usai peristiwa tersebut, desa tempat tinggal Soetjipto dihujani mortir oleh Belanda. Banyak yang gugur dari para penduduk sipil, sisanya telah mengungsi.
Soetjipto, memandang setiap pertempuran yang dilaluinya seperti bermain-main saja. Bahkan Mayor Basuki Rahmat mengagumi keberaniannya dengan menyebutnya sebagai kombatan cilik. Soetjipto adalah salah seorang contoh dari sekian banyak pejuang cilik yang rela mati demi tanah airnya.
Kendati demikian, tatkala perang telah usai, Soetjipto lalu meneruskan sekolahnya untuk meraih cita-citanya, berguna untuk bangsa dan negara. Prinsipnya hanya satu, bertempur wajib, dan belajar wajib. Karena sejatinya manusia diciptakan untuk senantiasa belajar dan berjuang.
Sekiranya inilah sekelumit kisah sejarah yang dapat penulis kisahkan. Semoga para pejuang kita, senantiasa mendapatkan haknya, baik dihadapan Tuhan ataupun selama hidupnya di negeri tercinta ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI