Identifikasi petani sebagai simbol penghidupan merupakan sebuah potret kemanusiaan yang tidak lepas dari hasil bumi. Hasil bumi yang didapat dari alam, menjelma menjadi berbagai macam tradisi dan kebersahajaan hidup bagi para pelaku usaha tani. Khususnya bagi para petani di tengah era modernisasi saat ini.
Kemajuan teknologi faktanya tidak membuat tipologi kultur masyarakat tani bergeser mengikuti perkembangan zaman. Konsistensi keberpihakan terhadap alam, menjadi "jalan ninja" yang senantiasa dipertahankan. Moderniasi yang mengiringi perkembangan usaha pertanian, biasanya hanya meliputi area teknologi, dan tidak kepada tradisi.
Menjaga tradisi dianggap sebagai syarat utama dalam kegiatan bertani. Kita tidak akan membahasnya secara teoritis dalam artikel ini, melainkan melalui berbagai kisah yang terangkum dari sudut pandang pengalaman penulis bersama para petani.
Seperti para petani di desa Cibuntu, yang konsisten mempertahankan tradisinya untuk sedekah bumi, tatkala panen atau hasil tani baik. Keuntungan dari alam, tentu untuk dinikmati bersama-sama, walau pengembangan desa Cibuntu tidak lepas dari upaya membangkitkan aspek wisata budaya melalui pendekatan ekowisata.
Tetapi para petani disana secara faktual lebih mengembangkan pendekatan kultur dan budaya sebagai dasar dalam berkegiatan pertanian. Bukan hanya bicara modernisasi dalam berbagai teknik dan teknologinya. Upaya pemakaian pupuk organik yang didapat dari peternakan kambing disana justru menjadi kunci dalam menjaga kelestarian alam.
Hal ini senada dengan konsep pertanian yang dilakukan oleh masyarakat Dieng. Baik dalam usaha kentang, ataupun terong belanda, pemanfaatan pupuk organik menjadi kunci yang menjadi ciri khas dalam menjaga tradisi. Tentu hal ini juga diimbangi dengan kegiatan sedekah bumi, yang biasa dilakukan tatkala ada upacara ruwatan rambut gimbal.
Bukan semerta-merta fokus pada upaya agrowisata atau ekowisata sebagai alternatifnya, melainkan menjaga budaya dan tradisi yang menjadi identifikasi sosial bagi para petani tradisional. Maka, hal ini dapat menjadi pembeda bila proyeksi modernisasi dalam berbagai sektor pertanian diupayakan guna meraih keuntungan yang lebih baik.
Khususnya untuk mengurai persoalan daya jual dan beli, yang tidak dapat lepas dari kebijakan publik. Atau bahkan menyelesaikan persoalan tengkulak dan praktek-praktek ijon, yang justru merugikan para petani.
tradisi bertani yang identik dengan budaya bangsa.
Dalam arti kata, para petani tidak menolak upaya modernisasi. Akan tetapi lebih adaptif dan kolaboratif agar tetap mampu menjagaKonsep kebersahajaan yang sudah melekat kuat dalam kultur para petani, sudah semestinya menjadi modal penting yang patut dipertahankan. Untuk dapat terus dijaga, dan dirawat, agar tidak tergerus dengan kultur modernisasi dengan orientasi yang lebih kapitalistik.
Tentunya sesuai dengan proyeksi masa depan yang baik bagi para petani. Tidak hanya kepada petani modern, tetapi juga kepada para petani tradisional. Walau kita tidak akan lupa terhadap peran para petani gurem yang juga sangat berkontribusi dalam menjaga ketahanan pangan negeri ini.
Semua tentu dapat berperan aktif dalam menjaga khasanah budaya bangsa. Khususnya untuk memberikan dukungan bagi para petani, yang seyogyanya dapat diperhatikan oleh berbagai pihak terkait. Terlebih dalam upaya perbaikan ekonomi para petani, melalui berbagai macam pendekatannya. Semoga bermanfaat.