Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Tanggapan untuk Profesor Yusril: MK bukan Mahkamah Kalkulator

16 Agustus 2014   08:34 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:24 1461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Profesor Yusril Ihza Mahendra menulis artikel berjudul Saatnya MK Melangkah ke Arah Substansial. Tulisan ini berasal dari keterangan yang disampaikan saudara Yusril sebagai ahli dalam Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 15 Agustus 2014.


Profesor Yusril, pada dasarnya berharap MK tidak hanya menjadi lembaga kalkulator. Sebatas memutus perkara terkait dengan perselisihan perhitungan suara. Yang membatasi kewenangan hanya mengurus angka-angka perhitungan suara belaka. Sudah saatnya MKuntuk melangkah ke arah yang lebih substansial. Sehingga bukan persoalan perselisihan mengenai angka-angka belaka.


Nampaknya dugaan Profesor Yusril ini bisa jadi benar. Bahwa hingga satu dekade keberadaannya, MK tidak beringsut dan bergerak maju ke arah yang lebih substansial. Hanya membatasi diri untuk mengatasi persoalan perselisihan angka-angka. Apa benar demikian?.


Saya tidak tahu pasti, apakah Profesor Yusril menutup mata atas perkembangan putusan-putusan MK yang berkait dengan perkara PHPU dalam satu dekade ini? Pada perkembangannya justru MK telah melampaui kewenangannya sebagaimana yang digariskan dalam UU Nomor 24 tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011. Tidak lagi sebatas sebagai “Mahkamah Kalkulator”, tapi sudah meluas ke wilayah yang dalam ketentuan UU, bukan menjadi kewenangan MK.

Pada perkembangannya, MK telah menciptakan norma hukum baru sesuai dengan keyakinan hakim(judge made law), yaitu dengan memaknai dan memberikan pandangan hukum melalui putusan putusan dalam perkara perselisihan hasil Pemilukada dengan memberikan penafsiran yang luas.Dalam perkembangan putusan-putusan tentang PHPU, MK tidak lagimembatasi diri pada objek sengketa Pemilukada yang hanya berkenaan dengan hasilpenghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU, namun lebih pada penilaian pada proses Pemilukada.


Satu diantaranya adalah Putusan MK Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 tentang perselisihan hasil Pemilukada Provinsi Jawa Timur. Bila pada sebelumnya MK, lebih menekankan pada aspek hukum dan keadilan formal, maka setelah munculnya putusan ini, penanganan perkara-perkara Pemilukada di MK mulai masuk ke wilayah hukum dan keadilan substansial. Melalui Putusan ini pula kemudian dikenal konsep pelanggaran Pemilukada yang sistematis, terstruktur, dan masif (STM).

Pada putusan MK ini jelas bahwa MK tidak hanya menggunakan pendekatan secara normatif atau prosedural (prosedural justice) namun lebih kepada menggunakan pendekatan substansial. MK tidak hanya sekadar mempersoalkan kuantitas Pemilu, (atau urusan angka-angka, menurut saudara Yusril) namun lebih kepada kualitas Pemilu. Dan menitikberatkan kepada penilaian proses (judicial process).


Demikian juga dengan Putusan MK Nomor 57/PHPU.D-VII/2008 tentang perselisihan hasil Pemilukada Kabupaten Bengkulu Selatan. Dimana MK mendiskualifikasi pemenang Pilkada, Dirwan Mahmud. Dan memerintahkan KPU melaksanakan PSU tanpa melibatkan Dirwan Mahmud.Karena dianggap Pilkada Bengkulu Selatan telah cacat yuridis sedari awal, dengan meloloskan Dirwan Mahmud sebagai kontestan.

Terlepas dari pro dan kontra atas putusan MK pada saat itu, namun MK dalam perkembangannya tidak sebatas memutus perkara hanya dalam urusan selisih angka-angka penghitungan suara. Dengan keputusan ini, nampak MK melakukan penafsiran secara ekstensif memperluas kewenangannya. Penafsiran dengan melebihi batas-batas yang telah digariskan oleh UU dan hasil interpretasi gramatikal.

Dalam hal ini, MK keluar dari bunyi undang-undang, tidak terpaku secara harfiah pada ketentuan normatif yang menyatakan bahwa kewenangan MK dalam penyelesaian Pemilu terbatas hanya persoalan hasil perolehan suara. Hal ini dapat dibenarkan karena memang penanganan sengketa hasil Pemilu yang adil tidak boleh dikacaukan hanya karena mematuhi formalitas hukum acara an sich . Hukum acara seharusnya digunakan sebagai alat bantu dari keadilan bukan untuk mengalahkan keadilan tersebut.

Norma baru dari amar putusan MK pun lahir pada putusan MK Nomor 45/PHPU.D-VII/2010, Perkara PHPU Kotawaringin Barat. MK dianggap telah melampaui kewenangannya, dengan mendiskualifikasi calon terpilih dan menetapkan pemenang Pemilukada, saat itu juga. Dimana kewenangan menetapkan calon terpilih sebagaimana ditentukan oleh UU, adalah kewenangan KPU. Jelas pada putusan MK ini, MK tidak menitikberatkan kepada selisih angka-angka penghitungan suara antara pihak pemohon dan KPU. Tetapi justru “menjatuhkan hukuman” kepada pihak terkait yang telah mencederai asas pemilu yang Jurdil Luber.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun