Seumur-umur, baru kali ini tinggal di Surabaya merasakan gempa. Lumayan juga jika melihat durasi waktunya. Walaupun tadi tak menghitung angka pasti berapa detik itu terjadi. Mungkin 1-2 menit, kurang lebihnya.
Terasanya ada dua kali. Mulai dari intensitas rendah ke tinggi terus berangsur normal kembali. Kejadiannya persis pkl. 14.00 WIB. Jam 2 siang. Lebih 15 detik kalau menurut info BMKG.
Mulanya tak sadar, ketika duduk di kursi sembari membaca pesan-pesan yang masuk di grup WA. Tapi tetiba kok kursi dan meja terasa bergetar dan bergoyang-goyang sendiri. “Lho... jangan-jangan ini gempa!”
Spontan saja, beranjak ke luar rumah, sembari bertanya ke beberapa grup WA yang ada. “Apakah ada gempa di Surabaya?”
Langsung saja berhamburan ragam komentar yang datang menyambut. “Iya, benar. Di tempat kerja saya kacanya bergetar. Saya lagi mengetik, terasa juga goyangannya. “
Macam-macam aktivitas yang sedang dijalani, tapi semua ikut merasakan dampaknya. “Saya kira vertigo saya kambuh. Darah rendahmu itu kumat.”
Ternyata benar-benar ada gempa. Bukan karena kondisi tubuhnya mengalami gejala yang di luar kebiasaan.
Kalau mau membandingkan, gempa yang terjadi Sabtu, 10 April 2021 siang ini, belum sebanyak dan sebesar yang terjadi sekitar 3-4 tahun lalu (maaf kalau salah ingat), ketika saya masih banyak beraktivitas di daerah Tulungagung. Rumah baru yang kokoh saja bisa bergoyang. Tentu pusat kedalaman gempa yang entah itu di daerah Jogja atau Malang, yang berada di kawasan laut selatan Jawa, posisinya lebih dekat dengan Surabaya, yang berada di kawasan pantai utara.
Di Surabaya, gunung berapi tidak ada atau jauh. Terakhir, hanya pernah kena limpahan letusan abu Gunung Kelud, Kediri pada 13 Februari 2014 silam. Di daerah ini juga tidak ada jalur patahan gempa. Adanya di kawasan pantai selatan Jawa. Jadi, sebenarnya secara teoritis lebih aman terhadap terjadinya gempa.
Dari luar kota, ada yang mengabarkan kalau di RSUD “Mardi Waluyo” Blitar, ada ruangan yang plafonnya sampai jebol. Di daerah Spellot, kawasan dekat pantai Malang Selatan kondisinya sama. Genteng-genteng rumah warga pada berjatuhan. Di Gunungtumo dan beberapa wilayah di kawasan yang sama, gambar dan video mengabarkan atap dan plafon gedung gereja pada jebol dan berjatuhan.
Skala 6,7 SR saja dampaknya sudah begini. Dahsyat juga karena jarak dari selatan ke utara Pulau Jawa, itu sudah berapa ratus kilometer jika ditarik garis lurus. Masih saja terasa getaran dan goyangannya. Tentu tambah dekat, tambah keras juga dampaknya.
Memang, ada juga juga komentar yang bertanya atau menceritakan soal adanya gempa jam dua siang ini. “Lho, iya ta?” Tak sadar atau belum benar-benar menyadari.
Peristiwa yang baru saja dialami ini, bisa jadi dan memang harus jadi pelajaran. Bahwa memang terkadang respon orang dalam menanggapi peristiwa alam berbeda-beda. Penanggap yang slowly bisa jadi warning, alarm tanda bahaya. Ketidaksigapan terhadap bahaya gempa, barangkali itu yang juga menjadi alasan utama mengapa sampai timbul korban nyawa.
“Kalau ada gempa, larilah ke luar rumah. Kalau tak sempat juga, carilah tempat perlindungan yang paling aman di mana ia berada dalam sebuah bangunan. “
Pemahaman dasar yang sudah hafal tentunya. Tetapi kenyataannya yang fast response, benar- benar tanggap, berapa banyak juga.
Semoga untuk teman-teman dan saudara/i yang rumahnya atau kantornya, atau rumah ibadahnya terkena dampak gempa sesaat tadi, bisa segera mendapatkan bala bantuan. Agar segera dapat diperbaiki dan bisa difungsikan kembali.
Tetap waspada buat semua. Musim pancaroba seperti ini, di permukaan, bagian atas, kondisi cuaca masih buruk. Di bawah, di dalam laut, kita tak tahu pergerakan lempeng bumi yang masih terus aktif.
Semoga kita aman dalam perlindungan tangan kasih-Nya....
10 April 2021
Hendra Setiawan