Peribahasa Latin kuno menyatakan verba volent scripta manent.Arti dari kata-kata ini intinya, “Apa yang terkatakan, akan segera lenyap. Apa yang tertulis akan menjadi abadi.”
Zaman sekarang, pengertian itu dapat diperluas menjadi, “Apa yang terekam, juga akan menjadi abadi.” Maksudnya, bukan hanya sekadar tulisan yang bisa bersifat abadi. Gambar diam (sketsa, foto) dan gambar bergerak (film, video) juga bisa bersifat abadi. Kenapabisa begitu? Ya, asal tak hancur saja, baik tulisan, gambar, film, bisa menjadi salah satu bukti sejarah peradaban manusia dan kebudayaan yang ada kala itu.
Dengan adanya karya-karya yang bersifat tak lekang oleh waktu inilah, generasi terkemudian bisa belajar dari generasi terdahulu mengenai peristiwa apa saja yang terjadi pada masa lampau. Lewat tulisan, gambar, film, kita bisa belajar sejarah. Melalui dokumentasi yang tercatat, kita bisa menganalisanya untuk kepentingan ilmu pengetahuan kini dan prediksi di masa depan. Misalnya saja mengenai catatan periodisasi letusan gunung berapi, banjir bandang, dan lain-lain. Dengan adanya data yang terekam tersebut, antisipasi bisa dilakukan, jatuhnya korban bisa diminimalkan.
* * *
“Apa saja yang tertulis akan menjadi abadi.” Sebuah pernyataan yang tidak keliru. Dengan adanya parkamen, manuskrip, papyrus, gulungan lontar, pahatan batu candi, catatan ilmuwan dan seniman dan sebagainya, telah membuktikan hal itu. Dari sana, kita jadi tahu isi Kitab Suci, sejarah kerajaan-kerajaan besar, perkembangan ilmu dan teknologi (iptek), dan sebagainya.
Munculnya media massa sebagai era pemberitaan massal, tentu juga membawa dampak yang tidak kecil. Meski ia bukan buku sejarah murni, tapi ia telah mencatat banyak peristiwa. Kumpulan peristiwa itu, pada waktu mendatang dapat menjadi sebuah nilai sejarah, yang bersifat abadi.
* * *
Pada masa lalu terdapat pemahaman: no documents, no history; tidak ada sumber tertulis, tidak ada sejarah. Artinya, sebuah sejarah dapat dikatakan valid, rigid, sah, bilamana di dalamnya termuat bukti-bukti peninggalan tertulis sebagai sumber referensi tunggal. Dengan kata lain, adalah ‘wajib hukumnya’ jika seseorang atau kelompok (komunitas) berniat membuat buku sejarah, harus ada sumber tertulisnya.
Namun perkembangan zaman kemudian, bertambah pula adanya kesadaran baru yang lebih luas dan terbuka. Bahwa tidak semua hal itu ada dalam catatan tertulis. Kekayaan budaya tutur/lisan (oral history), yang juga menjadi bagian dari warisan kebudayaan peradaban manusia, senyatanya juga dapat menjadi sumber informasi lain, yang juga tidak kalah perannya dengan sumber tertulis.
Oleh karenanya, peran media, buku, ataupun sekadar bentuk catatan tertulis lain, yang mengalihwujudkan budaya tutur/oralmenjadi bentuk tertulis, menjadi nilai yang teramat penting dan mahal harganya bagi perkembangan peradaban.
-end-