Keputusan untuk menonaktifkan Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga di Lebak, Banten, pasca insiden menampar siswa perokok, seringkali bukanlah akhir dari masalah, melainkan awal dari kekacauan baru! Kita harus berhenti sejenak dari emosi sesaat dan melihat ke depan: apa harga yang harus dibayar oleh sekolah yang kini viral dan para siswanya?
 Penonaktifan ini membawa dampak negatif yang nyata, baik dalam jangka pendek maupun panjang, yang akan menggoyahkan pondasi pendidikan di sana!
Dalam waktu singkat, SMAN 1 Cimarga langsung merasakan kekosongan kepemimpinan yang mendadak! Sosok yang selama ini memegang kendali, yang tahu seluk-beluk anggaran BOS dan manajemen sekolah, tiba-tiba harus mundur! Akibatnya, roda organisasi di sekolah akan melambat bahkan macet total! Siapa yang akan mengambil keputusan cepat, menjamin dana operasional tetap berjalan, dan mengelola ratusan guru serta staf?Â
Lebih parah lagi, fokus belajar 630 siswa terbelah! Aksi mogok dan suasana tegang yang menyertai penonaktifan ini menciptakan iklim ketidakpastian yang sangat mengganggu! Energi yang seharusnya dicurahkan untuk Kurikulum Merdeka atau persiapan ujian kini habis untuk membahas drama penamparan dan konflik internal, mengorbankan masa depan akademik generasi muda di Lebak!
Jika kita melihat lebih jauh, dampak buruk ini akan menjalar menjadi luka jangka panjang bagi institusi! Penonaktifan Ibu Kepala Sekolah tidak hanya mencopot satu individu, tetapi juga memberikan stigma negatif yang melekat pada nama SMAN 1 Cimarga di mata masyarakat Banten! Sekolah ini akan dipandang sebagai tempat yang rentan konflik dan kekerasan, berpotensi menurunkan minat calon siswa baru unggulan dan merusak citra alumni!Â
Namun, yang paling berbahaya adalah terbentuknya budaya ketakutan di kalangan guru! Tindakan kepala sekolah, terlepas dari kontroversinya, adalah upaya untuk menegakkan aturan anti-rokok! Dengan mencopotnya, kita seolah mengirim pesan kepada seluruh guru: Jangan berani bertindak tegas pada siswa perokok! Hal ini akan membuat para guru lain takut mengambil tindakan disipliner, membuka celah bagi pelanggaran aturan yang semakin merajalela di masa depan! Sekolah bisa kehilangan kendali, dan siswa akan berpikir bahwa pelanggaran serius pun hanya berujung pada impunitas bagi mereka!
Penonaktifan seorang kepala sekolah adalah solusi instan yang dangkal! Meskipun emosi menuntut "hukuman" atas kekerasan, kita harus bertanya: apakah ini benar-benar menyelesaikan masalah mendasar, yaitu perilaku merokok di kalangan remaja SMAN 1 Cimarga dan kualitas pembinaan karakter guru? Jelas tidak! Yang kita butuhkan adalah evaluasi dan pelatihan menyeluruh, bukan sekadar pemecatan!Â
Sekolah ini membutuhkan pelatihan manajemen emosi dan disiplin positif untuk guru, program rehabilitasi dan konseling yang kuat untuk siswa perokok, dan sistem penegakan aturan yang tegas namun manusiawi! Dengan menyingkirkan pemimpinnya tanpa memperbaiki akarnya, kita hanya menjebak sekolah dalam lingkaran setan masalah yang sama! Mari kita tuntut perbaikan sistemik yang akan menyelamatkan pendidikan, bukan sekadar tumbal yang menenangkan amarah sesaat!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI