Mohon tunggu...
Helmi Faisal 55522110039
Helmi Faisal 55522110039 Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kampus UMB Dosen Pengampu Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak Jurusan Magister Akuntansi Mata Kuliah Pajak International

Helmi Faisal Kholagi 55522110039; Jurusan Magister Akuntansi; Fakultas Ekonomi dan Bisnis; Universitas Mercubuana; Mata Kuliah Pajak International; Dosen Pengampu Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kuis 4 Diskursus Income Tax Evasion, Allingham Sandmo

3 Oktober 2023   16:16 Diperbarui: 3 Oktober 2023   17:11 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tax Evasion, atau dikenal juga sebagai pengemplangan pajak, merujuk pada tindakan ilegal yang dilakukan oleh perorangan atau korporasi dengan sengaja menyembunyikan atau memberikan data palsu kepada otoritas perpajakan. Tujuan utama dari penggelapan pajak adalah mengurangi kewajiban pajak dengan tidak melaporkan data yang sebenarnya, mulai dari penghasilan pribadi hingga keuntungan perusahaan. Aktivitas ini umumnya terkait dengan sektor ekonomi informal.

Sebaliknya, penghindaran pajak adalah pendekatan legal yang memanfaatkan celah-celah dalam hukum perpajakan. Melalui penghindaran pajak, entitas atau individu dapat secara sah meminimalkan jumlah pajak yang harus dibayarkan. Meskipun bersifat legal, baik penggelapan maupun penghindaran pajak masih dianggap sebagai tindakan ketidakpatuhan pajak karena keduanya bertujuan mengurangi kewajiban pajak, meskipun dengan perbedaan status legalitas.

Pada tahun 1968, ekonomi penerima Nobel, Gary Becker, memperkenalkan teori keekonomian kriminal, yang menjadi dasar bagi M.G. Allingham dan A. Sandmo dalam merancang model penggelapan pajak pada tahun 1972. Model ini menfokuskan pada penggelapan penghasilan sebagai sumber pajak utama di negara maju, dengan tingkat penggelapan dipengaruhi oleh seberapa ketat pengawasan dan seberapa berat hukuman yang mungkin diterapkan jika terjadi penggelapan.

Studi yang dilakukan oleh Alstadsæter et al. pada tahun 2017 menunjukkan bahwa individu dengan penghasilan besar memiliki kemungkinan sepuluh kali lipat lebih besar untuk melakukan penggelapan pajak dibandingkan dengan mereka yang memiliki penghasilan biasa. Hal ini mengindikasikan bahwa faktor sosioekonomi memainkan peran penting dalam menentukan perilaku perpajakan.

Teori ekonomi yang mengkaji perilaku penggelapan pajak pertama kali diajukan oleh Allingham dan Sandmo pada tahun 1972. Model tersebut memasukkan variabel seperti tarif pajak, probabilitas terdeteksi oleh agen ekonomi, tarif penalti, dan pendapatan bersih. Dalam kerangka teoretis ini, dengan asumsi bahwa agen ekonomi bersifat risk averse dan tarif penalti dikenakan pada pendapatan yang tidak dilaporkan, terdapat efek substitusi yang menyebabkan peningkatan tarif pajak meningkatkan perilaku penggelapan pajak, sementara efek pendapatan menunjukkan bahwa peningkatan tarif pajak dapat meningkatkan kepatuhan pajak. Meskipun model Allingham dan Sandmo menyimpulkan adanya ambiguitas terkait tarif pajak, Yitzhaki pada tahun 1974 mengkritisi model tersebut dengan merubah asumsi utama mengenai tarif penalti. Meskipun asumsi Yitzhaki sesuai dengan banyak peraturan perpajakan, modelnya menjadi bertentangan dengan intuisi ekonomi dan mayoritas penelitian empiris mengenai penggelapan pajak.

Sejumlah penelitian kemudian mencoba untuk mengeksplorasi ulang asumsi-asumsi dalam model tersebut. Gahramanov pada tahun 2009, Dalamagas pada tahun 2011, dan Yaniv pada tahun 2013 mengadopsi pendekatan yang berbeda, mempertimbangkan variasi dalam bracket penghasilan, analisis dinamis, dan tingkat konsumsi, untuk menguji kembali ambiguitas hasil kerangka teoretis yang diajukan oleh Allingham dan Sandmo.

Namun, memperkirakan perilaku penggelapan pajak dari suatu model teoretis menjadi tugas sulit dengan sejumlah kendala. Clotfelter pada tahun 1983 menjelaskan bahwa kendala utama melibatkan cara mengukur indikasi penggelapan pajak, menentukan spesifikasi model untuk mendeteksi indikasi penggelapan, dan memberikan penalti atas pelanggaran tersebut.

Dalam konteks kebijakan tarif tunggal, penerapan tarif tersebut bisa menjadi zero sum game, memindahkan beban pajak dari kalangan berpenghasilan tinggi ke kalangan berpenghasilan rendah dan menengah. Dampak penerapan tarif tunggal terhadap indikasi penggelapan pajak sulit diukur karena variasi tarif pajak yang dihadapi oleh berbagai Wajib Pajak.

Paulus dan Peichl pada tahun 2009 berargumen bahwa dampak penerapan tarif tunggal terhadap penurunan indikasi penggelapan pajak cenderung lebih lemah di negara maju daripada di negara berkembang. Meskipun demikian, efeknya pada indikasi penggelapan pajak dapat bervariasi bergantung pada tingkat penghasilan Wajib Pajak, dengan kecenderungan meningkatkan indikasi penggelapan pada Wajib Pajak berpenghasilan rendah, seperti yang dikemukakan oleh Fougere dan Ruggeri pada tahun 1998.

Kerangka kerja teoretis yang diajukan oleh Allingham dan Sandmo serta Yitzhaki menggunakan asumsi bahwa jumlah penghasilan sebenarnya hanya diketahui oleh Wajib Pajak, tetapi dapat terungkap melalui pemeriksaan (audit) oleh otoritas pajak dengan biaya administratif. Wajib Pajak pada kondisi tertentu dapat memilih untuk melakukan penggelapan pajak dengan melaporkan jumlah penghasilan di bawah nilai sebenarnya. Probabilitas Wajib Pajak terdeteksi dalam melakukan penggelapan pajak, yang diwakili oleh θ, dapat mengakibatkan penerapan penalti (δ) atas penghasilan yang tidak dilaporkan. Dalam konteks ini, jika δ > 1, penalti yang dikenakan dapat melebihi nilai penghasilan sebenarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun