Mohon tunggu...
Helga Evlin Zendrato
Helga Evlin Zendrato Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pecinta Tinta

Berlarilah yang kuat, setidaknya tetap berjalan.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Monolog

12 Juli 2021   07:00 Diperbarui: 12 Juli 2021   07:03 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Manusia-manusia dengan dirinya yang tidak selalu sama. Mereka berpikir dan bertutur. Kenyataan, menyambut dengan pahit segala rencana. Hambar itu merambah, menjalar, dan tertular. Mereka sensitif, belum disenggol sudah marah. Didiami ngamuk-ngamuk. Semuanya sedang berperang dengan persoalan-persoalan yang sederhana, tetapi telah rumit karena dibawa perasaan. 

Kontrol kemudi bukan lagi diri sendiri. Mereka lebih percaya validasi orang lain. Memaksakan diri untuk selaras dengan yang kontras. Hasilnya berantakkan sempurna. 

Pikirannya tidak sinkron, semuanya serba salah. Saat lari memilih duduk, saar berdiri memilih baring. Saat kemarau minta hujan, saat hujan, banjir disalahkan. Sekarang, musimnya lagi dingin. 

Mereka ingin panas yang terik. Sungguh sebuah paradoks yang sukar untuk dipecahkan. Bila saja keabsahan adalah subjektifitas, keruntuhan sudah pasti jawaban dari masa mendatang.

Cobalah dengarkan, apa yang sedang dikatakannya kepada dirinya sendiri. Ia sedang duduk di teras rumah. Rumahnya sederhana beratap daun rumbia, beralaskan tanah, dan berdinding kayu. Bagaimana ia sedang menyesal dan merasa kalut sepanjang hari. Pikirannya sedang bercabang-cabang, ia mengembara di dalam bara. 

Rasanya seperti, pikirnya seperti, dan tuturnya seperti. Sudah kukatakan, dia sedang bercakap kepada dirinya sendiri. tolonglah, jangan diusik. Biarkan saja malam berganti malam, ia takkan merasa gelap meskipun matanya menerang langit yang gelap.

Dengarlah diriku, mereka tidak sedang memarahimu. Mereka memang beradu mulut, membanting pintu, dan bertutur serampang. Namun, ini bukanlah tentangmu. Kakimu tak mampu menggapai daun pintu dan menghimpitkannya di antara tembok-tembok putih. Tanganmu terlambat untuk menahan mulut yang terlanjur dan terburu-buru menyatakan sesalnya.

Kamu belum mampu mengontrol semua yang ada di sekitarmu. Cukupkan kakimu untuk membuat langkah menjauh darinya, jikalau perlu lebih jauh berlarilah dengan kencang. Berhentilah mengadu pada tembok-tembok yang membisu. Cukupkan kedua tanganmu untuk menahan udara masuk ke telinga. Suara-suara itu bergetar di dalam dadamu, menghasutmu untuk terus menyalahkan waktu, keadaan, dan semua hal.

Diriku, tidak ada yang memaksamu untuk berdiam diri. Tidak ada yang bisa menggantikan perasaanmu saat ini. Berhentilah menjadi marah dengan sekeliling. Bila kau masih peduli, lihat anak-anak yang duduk dan meminta-minta. 

Bila kau masih peduli, lihatlah sampah-sampah yang menganggur karena tuannya sedang sakit di ranjang. Bila kau peduli, dongakkan kepalamu keluar lihatlah betapa penyakit melilit perutnya yang belum terisi cairan sekali pun. Bila kau peduli, kau tak akan diam dan menyalahkan diri sendiri. 

Acuhlah dengan situasi ini, mereka gemetar memohon-mohon belas kasihan. Mereka berduka tak tahu bagaimana melampiaskan. Hanya pintu-pintu yang setengah ternganga yang mereka tutup dengan kasar. Lantas, dengan cepat engkau tersulut amarah. Bagaimana mudahnya ombak itu membawa hanyut ceria dan tawa lebarmu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun