Mohon tunggu...
Helga Evlin Zendrato
Helga Evlin Zendrato Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pecinta Tinta

Berlarilah yang kuat, setidaknya tetap berjalan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Sama Saja Anak Muda

15 Februari 2020   15:00 Diperbarui: 15 Februari 2020   15:00 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Aku seorang gadis remaja hanya mampu mengangguk dan menggeleng. Aku tidak mampu untuk membuat keputusan atau pun membuat banyak pilihan. Hari-hari tertentu aku bisa begitu bahagia tanpa harus terkatakan. Sekarang, aku memutuskan untuk berdiam diri, menjauh dari banyak kerumunan para makhluk sosial. Aku menjadi pribadi yang eksklusif dan realistis. Bagiku tidak ada opsi q selain p.

Seorang anak kecil menatap aku dari jauh. Anak itu digandeng oleh ayahnya. Mulut kecil itu mengungkapkan kata yang tidak pernah akan dilupakannya. "Ayah, orang itu jahat" ucapnya seraya menunjuk kepadaku. Ayahnya segera menyeret ia jauh lalu mendekap wajah anak itu. Bukan sebab perkataan itu aku terluka, justru tak ada kata yang keluar dari mulut laki-laki dewasa itulah yang membuaku  menitikkan peluh yang tak terungkap. Sudah seharusnya yang dewasa mengucapkan kata "Maaf" mewakili anaknya yang belum diajarkan dengan benar. Namun, apa yang terjadi ketika seorang ayah memilih untuk berdiam dalam waktu yang tak tentu. Bagiku ini masih satu diantara sekian banyak hal.

Sejak pagi, langit mendung kabarnya di daerahku tentulah ini bencana. Secara perlahan pasti kabar burung itu akan terungkap. Aku hanya menunggu kabar itu hinggap di gubukku dan menyebar ke gubuk-gubuk yang lain. Wejangan-wejangan sudah sangat banyak kuterima terkait cara hidup yang benar sebagai seorang gadis. Sejak kecil, orang tua tidak akan pernah lupa menyediakan waktu untuk sekadar memarahi atau memberikan petuah-petuah agar hidup jauh dari celaka yang disengaja. Sederhanya, orang tua akan merepet sepanjang hari sepanjang malam hanya karena hasil ujian di bawah angka sempurna. Meskipun mereka tidak pernah menyempatkan waktu untuk mengajariku tentang pengetahuan, tetapi mereka selalu punya banyak waktu menuntut hingga hasilnya menjadi sempurna.

"Apa saja yang kau lakukan di sekolah?" ujar ibu sambal mengupas bawang yang sudah seminggu tidak dipakai itu. Aku hanya pasrah tertunduk hingga kalimat berikutnya mengalir tanpa kuminta. Aku dikatakan menghentikan perjalanan belajar jika sekadar mengantar kawan ke sekolah. Ini bukan perkara seberapa serius aku belajar dan berusaha agar dapat hidup sebagaimana yang lainnya, tetapi bagaimana aku mampu memberikan nilai-nilai yang sempurna dengan pikiranku yang serba terpaksa untuk tahu. Aku terkadang memutuskan untuk berbohong, menjiblak tanda tangan ibu untuk dibubuhi pada kertas ujianku. Ini masih pertemuan dengan ibu yang sangat dekat dengan hari-hariku. Tentu perkara ini kalau didengar ayah akan mendatangkan kutukan bagiku.

Aku memutuskan untuk tersenyum setiap pulang sekolah, mencoba meraih tangan orang tuaku agar menjadi sopan di masa mendatang. Hal ini seperti tabu bagi yang lainnya, sesekali kudengar hujatan dan tertawa membanjiri pendengaranku. Katanya aku terlalu sok-sokan untuk hal-hal yang tidak akan menambahkan nilaiku saat ujian. Manusia memang manusia, menetapkan moral secara subjektif berdasarkan pikirannya yang sempit. Ada niat yang baik yang tidak sekadar menjadi hafalan yang kuterima di sekolah.

Aku belajar menghargai orang tua dan melakukan apa yang kuanggap benar adanya. Pengetahuan itu bukan hafalan ia adalah napas yang bernyawa. Terkadang amarah orang tua membuat niat belajarku meningkat, sekalipun aku tertekan dengan perkataan yang tidak ingin kudengarkan. Orang tua hanya ingin yang terbaik, terkadang susah untuk mernyamakan yang terbaik menurutku dan terbaik bagi mereka.

Kabar itu singgah juga di gubukku, ada perempuan yang tidak berada di gubuknya lagi. Ia menghilang setelah semalaman memberikan alasan menyelesaikan tugas di rumah temannya. Stigma-stigma dalam masyarakat terus bertumbuh menjadi kenyataan yang tidak akan pernah dapat kutolak. Mendung ini menandakan buntingnya anak yang hilang. Begitulah kepercayaan yang sudah sejak nenek moyang ditanamkan kepada kami.

Perasaan kasihan membanjiri keluarga yang sedang dijatuhi stigma. Status sekolah kini menjadi tidak penting bagi orang tua, mereka menuntun anak-anak mencari pekerjaan. Bukan pekerjaan untuk menjual harga diri di bawah remang-remang atau menjadi budak-budak yang berlimpah dengan harta. Anak-anak dibawa turun ke jalan raya, diperkenalkan pada mandor yang kemudian mendaftarkan nama baru sebagai penerima upah. Tanpa memandang usia mandor mempekerjakan siapa pun agar proyeknya cepat usai, syaratnya yang penting mampu mengangkat batu. Aku melihat banyak teman-teman seusiaku mengekor di balik tubuh ibunya, mengangkut satu per satu batu, menyendok semen, memindahkan kerikil, dan berpeluh di bawah teriknya matahari.

Kehidupan yang mencari duit tanpa kenal harta-harta lainnya. Anak-anak dilarang main layang-layang di waktu masih siang. Anak-anak mencium bau aspal yang akan mereka lalui. Bayaran 50 ribu membeli senyuman dari wajah ibu-ibu. Anak-anak sedikit membantu ketersediaan bumbu di dapur. Setelah proyek selesai, anak-anak itu menganggur. Mereka kini duduk di warung tuak, memberanikan diri memesan segelas hingga berujung berbotol-botol. Mereka menjadi berani karena duit yang masih dikantongi sendiri.

Tiba waktunya bumbu di dapur habis, proyek telah lama selesai. Tuak yang nganggur menyebabkan mereka candu untuk bertemu di warung, tidak sedikit pemilik warung memberikan pengalaman baru yang gratis. Sebatang rokok mulai diberi cuma-cuma, tuak juga ditolerir untuk menjadi utang. Nama-nama yang muda itu mulai terikat dengan urusan yang dewasa, mereka sama dengan ayahnya yang sebentar berhenti di warung dan bergosip tentang nasib yang tak kunjung mujur.

Mereka sudah tidak anak-anak lagi, tetapi remaja menuju dewasa. Masa pubertas mereka meronta-ronta tanpa pernah mengecap sekolah. Ada hal-hal yang tidak pernah dilarang yaitu melirik lawan jenisnya, mereka mulai berani menyebut kata-kata yang manis dan merayu dengan gombal yang membual-bual. Bahkan, mereka mampu membuat petuah sendiri untuk orang tua, tidak sopan. Bahakan, kurang ajar lebih tepatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun