Mohon tunggu...
Helga Evlin Zendrato
Helga Evlin Zendrato Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pecinta Tinta

Berlarilah yang kuat, setidaknya tetap berjalan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen| Pewaris Kuasa

10 Januari 2020   00:00 Diperbarui: 24 Januari 2020   16:07 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Mengapa harus kutunjukkan air yang mendesir dari mataku?"

"Kau anakku, kau tau itu!" bentak laki-laki yang setengah sadar. Tidak lebih dari sekadar bahan gunjingan masyarakat kampung. Aku hanya bertemu dia dalam kontrol minuman keras, tuo kata yang mendatangkan trauma bagiku.

***

Aku tak akan merasa malu bila terlahir dengan status masyarakat biasa. Hidup akan lebih mudah beradaptasi dan bertingkah sebagai manusia normal. Akan tetapi, siapa menyangka bahwa ini bukan imajinasi yang membebaskanku untuk membuat pilihan.  Rumah hanya akan membuatku menutup telinga di balik selimut. Aku tersedu-sedu tanpa alasan yang jelas.

Hanya wanita yang mulai beruban itu membuatku sedikit lebih tenang. Acap kali, tiada hari tanpa selisih paham dalam dinding tua, tanpa cat, dan menjadi tempat berteduh sebagian serangga. Berkali-kali terbersit niat untuk melakukan renovasi, tetapi martabat lebih bernilai dan terpandang untuk saat ini.

Dia yang mengapit sebatang rokok di jarinya sedang memikirkan siasat. Undangan pernikahan anak pegawai negeri yang diagung-agungkan kekayaannya sedikit menjadi siksaan. Ini adalah perintah ketiga kalinya kepadaku memindahkan botol-botol berisi tuo ke rumah. Penjual tuo tidak asing lagi dengan lembaran bukunya yang hanya terisi nama yang sama dengan angka-angka yang belum tercoret dari tujuh bulan yang lalu. Aku hanya menunduk setiap kali nama laki-laki yang menyuruhku diucapkan oleh laki-laki yang suka nongkrong di warung.

"Apa yang harus kita lakukan, ma?" tanyanya sederhana.

"Bukankah berkali-kali kuberitahu, 'kalau kau punya, ya berikan saja. Semampumu, itu dariku!' tolong jangan tanyakan lagi." Nenek menghentikan ucapannya sembari meneguk air putih yang semalam sudah di atas meja.

Dia masih belum paham tentang ucapan yang disampaikan nenek. Ia mondar-mandir di ruang tamu, menarik perhatian orang-orang yang melihatnya.

"apa lagi yang kau pusingkan?" tanya nenek tak tahan melihatnya berkali-kali memutari tempat yang sama.

"Apakah kita tidak malu? Hanya cukup untuk belanja sarung, ma."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun