Krisis Empati di Era Like-Share: Saat Teknologi Mempermudah Sambungan, Tapi Jarak Antar Manusia Justru Meningkat"
Di bulan Oktober 2025 ini, ketika dunia kita semakin terhubung melalui layar --- dari ponsel pintar, pesan instan, video pendek ada fenomena yang mulai menggerus sendi kehidupan sosial kita: jarak manusiawi yang makin melebar. Teknologi seharusnya menjadi jembatan, namun ironisnya semakin sering jadi tembok.
Pertama-tama, mari kita lihat fakta sederhana: generasi muda sekarang berbicara melalui stiker, emoji, dan reaction dalam hitungan detik. Tapi ketika ada orang yang sedang lelah, sedih, atau membutuhkan sekadar didengar sering kali respons kita bukan "saya mendengar Anda", melainkan "saya tahu problemnya, ini solusinya" atau bahkan "oke, saya like" lalu pindah ke unggahan selanjutnya. Teknologi memberi kecepatan, tapi belum tentu memberi kedalaman. Ini bukan sekadar soal komunikasi; ini soal kehadiran.
Kedua: di ruang online, empati mudah dikonsumsi meme, komentar dukungan, atau tagar #Solidaritas. Tapi ke mana setelah itu? Apakah dukungan itu diikuti oleh tindakan nyata? Apakah kita benar-benar memahami situasi orang lain atau hanya ikut arus viral? Ketika empati diukur dari jumlah like atau share, maka kita mulai memproduksi "empati instan" yang cepat hambar. Hasilnya: polarisasi makin mudah, karena bila kita tidak punya kecenderungan hingar-bingar klik-viral, maka kita diam atau memilih pihak yang teriak paling keras.
Ketiga: dampaknya terasa nyata. Di sekolah, ketika siswa merasa terganggu oleh tekanan sosial media atau bullying digital, banyak yang memilih mundur diam-diam. Di lingkungan kerja, kita semakin sering mengalami "zoom fatigue", "scroll fatigue", tapi bukan "listening fatigue"Â karena kita tak terbiasa mendengar secara penuh. Hubungan antar manusia jadi transaksional: komentar, emoji, selesai. Relasi tidak lagi dialami.
Jadi, apa yang bisa kita lakukan bukan hanya sebagai pengguna, tapi sebagai penggerak budaya kehadiran?
1. Latih kehadiran nyata: Ketika Anda menanggapi postingan seseorang yang sedang mengalami kesulitan, jangan langsung beri solusi. Tanyakan: "Bagaimana rasanya?" "Apa yang Anda alami?" Diam untuk mendengar. Kehadiran bukan hanya memberi jawaban, tapi memberi ruang.
2. Ubah teknologi menjadi alat, bukan pengganti: Ponsel dan media sosial harus jadi sarana, bukan substitusi kehidupan sosial. Kirim pesan yang panjang, lakukan panggilan suara/video, bertemu secara nyata bila memungkinkan. Jadikan teknologi sebagai pendukung hubungan, bukan pengganti hubungan.
3. Bangun "empati digital yang berdampak": Bikin konten yang bukan hanya viral dalam hitungan jam, tapi yang menyentuh dalam hitungan hari atau minggu. Ajak aksi nyata: donasi, kerja sukarela, mentoring daring--nyata. Empati bukan hanya komentar; empati adalah aksi yang berkelanjutan.
Penutupnya: Kita hidup di zaman teknologi yang memecah batas ruang dan waktu --- tapi batas antara manusia dengan manusia sering kali luput dari perhatian. Kalau kita tidak aktif memastikan bahwa teknologi memperkuat, bukan melemahkan, nilai kehadiran dan empati --- maka kemajuan yang kita raih akan terasa hampa. Mari bersama-sama memastikan bahwa di balik layar yang menyala kita tetap bertatap, mendengar, dan hadir untuk sesama. Karena di tengah kecepatan yang makin tinggi, kehadiranlah yang menjadi langka --- dan karenanya sangat berharga.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI